Stafsus Sri Mulyani Jelaskan Beda Tax Amnesty dengan Pengungkapan Sukarela
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 12 November 2021 15:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Staf khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, mengomentari opini yang ditulis bekas Menteri Keuangan Fuad Bawazier di salah satu media nasional. Fuad dalam opininya mengkritik mengenai Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, salah satunya terkait Program Pengungkapan Sukarela atau PPS yang ia sebut sebagai tax amnesty jilid 2.
Bekas Direktur Jenderal Pajak itu menyebut kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak itu kurang logis jika kembali dilakukan, lantaran pada 2016 pemerintah sudah menggelar program serupa.
Atas kritik Fuad Bawazier tersebut, Prastowo mengaku enggan berdebat mengenai apakah program pengampunan sukarela yang ada di dalam UU HPP tersebut adalah tax amnesty atau bukan.
"Mari tilik rumusan di UU HPP secara cermat. Jelas ada beberapa perbedaan fundamental," ujar Prastowo dalam keterangan tertulis, Jumat, 12 November 2021.
Kebijakan I, kata Prastowo, memberi kesempatan bagi peserta tax amnesty 2016-2017 untuk mengungkapkan harta yang dulu belum diungkap, dengan membayar pajak final sebesar 6 persen, 8 persen, atau 11 persen. Ini di atas tarif tebusan waktu itu yang sebesar 2 persen, 3 persen, dan 5 persen.
Lalu, bagi wajib pajak orang pribadi, tutur dia, dapat mengungkapkan secara sukarela penghasilan yang diperoleh dalam kurun 2016-2020 melalui pengungkapan harta dan dikenai tarif final 12 persen, 14 persen, dan 18 persen.
<!--more-->
Dengan demikian, Prastowo mengatakan meskipun tarif direlaksasi, namun tetap cukup tinggi mengingat situasi pandemi yang memberatkan keuangan wajib pajak. "Jika hendak adil, kita harus jujur fasilitas yang ditawarkan PPS tidak semenarik UU Pengampunan Pajak," kata Prastowo.
Adapun program yang akan dimulai pada 2022 oleh pemerintah didasari oleh berbagai pertimbangan, antara lain Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu telah memiliki akses terhadap informasi, sehingga punya kesempatan untuk melakukan penelusuran kebenaran laporan WP.
Maka, menurut dia, cukup pasti hanya mereka yang sungguh-sungguh ingin jujur terbuka dan patuh yang mau ikut program ini. Di sisi lain, ia membenarkan bahwa UU ini mengatur tentang perlindungan data dan informasi yang diungkap, hal yang sama diatur di UU Pengampunan Pajak.
"Apakah ini lantas meniadakan kewenangan melakukan tindak lanjut hukum? Tidak! Tidak ada impunitas dan imunitas karena yang dilindungi sebatas data dan informasi yang diungkap oleh WP dalam PPS ini," ujar Prastowo.
Kebijakan itu, kata dia, adalah hal yang standar dan amat wajar agar mencerminkan kepercayaan dan tidak dianggap ada jebakan. Jika terdapat data/informasi lain di luar pengungkapan ini, maka tetap dapat dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
"Kiranya penjelasan ini cukup mendudukkan diskursus tentang UU HPP secara proporsional. Kritik, aspirasi, dan masukan dari semua pihak tentu amat penting bagi perbaikan dan kebaikan bersama," kata Prastowo.
Baca: OJK Tanggapi Fatwa MUI yang Haramkan Pinjaman Online Mengandung Riba
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.