Kemenkeu Beberkan Latar Belakang Penyusunan RUU Perampasan Aset
Reporter
Muhammad Hendartyo
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 12 Oktober 2021 07:16 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah telah menginisiasi penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Perampasan Aset atau RUU Perampasan Aset. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari membeberkan sejumlah latar belakang dalam penyusunan rancangan beleid tersebut.
Rahayu menyebutkan RUU Perampasan Aset adalah didasarkan pada pertimbangan kondisi saat ini bahwa pengelolaan aset rampasan dilakukan oleh beberapa instansi yang berwenang. Namun pengelolaan aset rampasan berdasarkan peraturan perundang-undangan masing-masing membuat pelaksanaannya kurang efektif dan efisien.
Alasan kedua, karena pencatatan aset sitaan dan aset yang dirampas selama ini masih tersebar dan belum terintegrasi. Ketiga, masih banyak aset-aset sitaan dan rampasan yang terbengkalai.
Penyusunan RUU tentang Perampasan Aset tersebut, menurut Rahayu, juga dilakukan sebagai bagian dari pemenuhan persyaratan bagi Negara Indonesia untuk menjadi anggota Financial Action Task Force (FATF).
Optimasi penyelamatan aset (asset recovery) pun diperlukan pembentukan suatu Undang-undang dengan mengadopsi ketentuan yang terdapat dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan yang menerapkan skema Non-Conviction Based Forfeiture.
Aturan ini telah diimplementasikan pada negara-negara common law di mana negara dapat memaksimalkan upaya perampasan aset hasil kejahatan tanpa perlu menunggu putusan atas tindak pidana.
Adapun pembahasan RUU dilakukan dalam kerangka Program Legislasi Nasional yang disepakati antara Pemerintah dan DPR yang kemudian dituangkan dalam Keputusan DPR RI yang berisi penetapan daftar RUU Jangka Menengah periode 5 tahun dan penetapan RUU Prioritas Tahunan.
RUU Perampasan Aset telah dicantumkan sebagai RUU Jangka Menengah (periode tahun 2020 sampai 2024) dalam Keputusan DPR Nomor 1/DPR RI/IV/2020-2021 pada nomor urut 137 dan akan diusulkan Pemerintah untuk disepakati menjadi RUU Prioritas Tahun 2022.
<!--more-->
"Namun demikian, Kementerian Keuangan dalam hal ini bukan sebagai inisiator RUU Perampasan Aset," ujar Rahayu dalam keterangan tertulis, Senin, 11 Oktober 2021.
Tugas dan kewenangan Kementerian Keuangan yang terkait dalam RUU tersebut antara lain terkait materi pengelolaan aset tindak pidana yang dilakukan oleh Kemenkeu cq. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara sebagai bagian dari pengelolaan barang milik negara atau BMN setelah terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
RUU Perampasan Aset ini diharapkan membuat pelaksanaan tugas pengelolaan aset terkait dengan tindak pidana (yang dapat dirampas berdasarkan RUU
Perampasan Aset) terintegrasi.
Dengan begitu, instansi yang berwenang mengelola aset rampasan bisa lebih mudah melaksanakan tugasnya sesuai dengan kewenangan dari masing-masing. Pencatatan atas aset sitaan dan rampasan dilakukan secara terintegrasi serta nilai ekonomis dari aset-aset sitaan dan rampasan tetap terjaga.
"Dengan demikian RUU Perampasan Aset dapat turut serta mendukung optimalisasi pengelolaan aset yang saat ini terus diupayakan oleh Kemenkeu," kata Rahayu.
Sebelumnya, Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi mendorong agar Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset agar segera dibahas dan disahkan. Hal tersebut dinilai bakal membantu dalam penyelesaian kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia atau BLBI.
Kasus hak tagih negara atas dana BLBI ini telah berlarut-larut dan berusia hampir 22 tahun hingga kini, dan tak kunjung surut.
“Dan tugas lainnya di kemudian hari sebagai dasar penegak hukum melakukan pengejaran harta kekayaan para penjahat ekonomi untuk sebelum, selama, dan setelah proses persidangan,” kata Setia pada konferensi pers virtual, Jumat, 27 Agustus 2021.
HENDARTYO HANGGI | BISNIS
Baca: Ingkar Janji Jokowi, dari Tax Amnesty sampai Kereta Cepat Tanpa APBN