PDI Perjuangan Tolak PP Penyelenggaraan Kehutanan, Berikut Pertimbangannya
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Martha Warta Silaban
Jumat, 16 Juli 2021 06:58 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - PDI Perjuangan resmi menolak Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja. Kader PDI Perjuangan yang juga Ketua Komisi Lingkungan DPR Sudin pun menilai beberapa klausul dalam PP ini mengancam keberadaan hutan.
"Jika hutan terus berkurang, banteng akan kehilangan habitatnya," kata Sudin kepada para kader partai yang hadir dalam webinar yang diadakan PDIP pada Rabu, 14 Juli 2021.
PP 23 adalah salah satu aturan UU Cipta Kerja. Salah satu perubahan mencolok dari beleid ini adalah adanya pergantian dari Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) menjadi Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Secara garis besar, UU Cipta Kerja telah menggantikan UU Kehutanan. Lalu, beberapa PP di bawahnya juga sudah digantikan oleh PP 23. Termasuk beberapa Peraturan Menteri (PM) yang lama, menjadi PP Nomor 7 Tahun 2021.
Sudin lalu menyoroti beberapa perubahan yang jadi pertimbangan di balik penolakan PDIP. Salah satunya perbandingan biaya yang harus dikeluarkan saat meminjam kawasan hutan, antara pemegang IPPKH dan PPKH.<!--more-->
Pemegang IPPKH
Dalam aturan lama, ada klausul 1 banding 2. Artinya, pemegang IPPKH seluas 50 hektare (ha) wajib menggantinya dengan kewajiban lahan kompensasi seluas 100 ha. Sudin mencontohkan situasi di tahun 80-an ketika Bangka Belitung masih menjadi wilayah Sumatera Selatan.
Ketika orang mau membuka kebun di Sumatera Selatan, maka Ia harus mengganti tanah seluas dua kali lipat di Bangka Belitung. "Maka saat ini, sebagian besar Bangka Belitung masuk kawasan hutan, karena terjadi kompenssi tukar menukar," kata dia.
Sudin mengilustrasikan nilai pembelian lahan bisa mencapai Rp 10 miliar. Hitungan pembelian lahan berasal dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) per meter persegi dikalikan luas lahan kompensasi per meter persegi.
Misalkan NJOP sekitar Rp 10 ribu per meter persegi dan lahan kompensasi 100 ha, maka nilai pembelian lahannya mencapai Rp 10 miliar. Nilai ini belum ditambah dengan kewajiban menanami lahan menjadi hutan kembali, sebelum diserahkan ke negara.
Pemegang PPKH
Tapi setelah PP 23, klausulnya berganti menjadi PNBP Kompensasi dengan nilai jauh lebih kecil yaitu sekitar Rp 575 juta saja. PNBP Kompensasi ini bisa dihitung dari tarif per satuan luas dikalikan luas PPKH per ha.
Tarif PNBP Kompensasi mencapai Rp 11,5 juta per ha. Sehingga ketika seseorang memegang PPKH seluas 50 ha, maka nilai PNBP Kompensasi yang dibebankan kepadanya yaitu sebesar Rp 575 juta. Nilai inilah yang dianggap kecil oleh PDIP.<!--more-->
Sebelum PP 23
Selain itu, Sudin juga membandingkan kewajiban antara pemegang IPPKH dan PPKH. Sebelum PP 23 terbit, Sudin menyebut ada penambahan kawasan dan penutupan hutan. Lalu, aturan lama juga dinilai meningkatkan ekonomi dan pendapatan masyarakat dari pembelian lahan dan kegiatan penanaman hutan.
Kemudian, negara juga tidak mengeluarkan biaya rehabilitasi hutan karena lahan diserahkan dalam bentuk hutan kembali. "Negara mendapatkan nilai tambah dan manfaat lingkungan," kata dia.
Setelah PP 23
Tapi setelah PP 23 terbut, tidak ada klausul penambahan kawasan dan penutupan hutan. Selain itu, aturan baru ini juga dinilai tidak melahirkan peningkatan ekonomi dan pendapatan warga. Sebab, pembayaran PNBP langsung ke kas negara.
Selain itu, negara masih harus menganggarkan pembelian lahan dan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang nilainya lebih besar dari PNPB Kompensasi per ha. Terakhir, besar PNPB Kompensasi dan juga PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dinilai lebih kecil dari kerusakan hutan atau penurunan kualitas lingkungan.
Baca Juga: PDIP Resmi Menolak PP 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Kehutanan, Alasannya?