Mengenang 5 Kritik Ekonom Enny Sri Hartati untuk Pemerintah Selama Pandemi
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Martha Warta Silaban
Jumat, 2 Juli 2021 08:01 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, meninggal pada Kamis, 1 Juli 2021. Enny wafat pada pukul 19.55 WIB di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi, Jakarta, karena Covid-19.
"Iya betul. Kemarin dibawa ke rumah sakit,” kata ekonom Indef, Eko Listyanto, saat dihubungi Tempo, Kami, 1 Juli.
Semasa hidup, Enny banyak melontarkan kritik kepada pemerintah, termasuk dalam menangani Covid-19. Berikut ini beragam kritik Enny untuk pemerintah yang dihimpun dari awal pandemi Covid-19 hingga 2021.
- Pemerintah dinilai gagal dongkrak pertumbuhan ekonomi lewat paket kebijakan
Enny mengatakan paket kebijakan atau stimulus pemerintah telah gagal mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rontok akibat wabah virus corona. Kegagalan tersebut terlihat dari rendahnya pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 yang hanya 2,97 persen.
"Pemerintah lambat dan terlambat, baik untuk mengantisipasi, melawan, dan memitigasi dampak Covid-19. Kebijakan pemerintah gagal mendongkrak pertumbuhan ekonomi, khususnya konsumsi rumah tangga," kata Enny, 7 Mei 2020.
Dia mengatakan indikator atau pembentuk utama produk domestik bruto (PDB) adalah konsumsi rumah tangga. Anjloknya konsumsi rumah tangga dari 5,02 persen pada kuartal IV 2019 menjadi hanya 2,84 persen pada kuartal I 2020 mengindikasikan turunnya daya beli masyarakat.
Sebanyak 40 persen masyatakat miskin dan rentan miskin sudah bisa menggenjot konsumsi karena sebagian besar di antara mereka telah kehilangan pekerjaan dan pendapatan harian. Kegagalan tersebut, lanjutnya, telah terjadi sejak paket stimulus I dimana pemerintah justru fokus menggenjot kunjungan wisatawan, baik asing maupun mancanegara. Padahal, saat itu World Health Organization (WHO) sudah mengingatkan bahaya penyebaran virus Corona.
"Jangan lupa, saat itu Ring 1 pemerintah justru berlomba-lomba mengundang wisman datang ke Indonesia. Kesalahan lain, pemerintah terlambat mengambil keputusan untuk lockdown atau PSBB (pembatasan sosial berskala besar)," katanya.<!--more-->
- Enny kritik pemerintah yang kebingungan
Enny menilai pemerintah masih kebingungan untuk menyelesaikan masalah pandemi corona setelah empat bulan virus itu masuk ke Indonesia. Pemerintah dipandang hanya berkutat mempersoalkan prioritas penanganan antara kesehatan dan ekonomi.
“Kita kebingungan mana yang harus dikerjakan, menyelamatkan ekonomi dulu atau apa. Hanya sibuk di tataran itu. Persoalannya yang kita hadapi ini real, bukan sekadar isu,” ujar Enny, 11 Juli 2020.
Enny pun menganggap kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah belum menyentuh akar persoalan krisis. Semestinya, menurut dia, pemerintah berfokus terhadap penyelesaian masalah pandemi sejak awal dan mencegah penyebaran wabah agar tidak meluas.
Dengan begitu, persoalan-persoalan yang muncul karena pandemi seperti ekonomi hingga sosial bisa ditangani secara terstruktur. Di samping itu, Enny memandang langkah pemerintah yang memberikan stimulus berupa suntikan likuiditas belum terlampau efektif.
“Seolah-olah dengan berusaha mengguyuri likuiditas, masalah akan selesai. Namun mereka lupa apa yang menyebabkan terganggunya likuiditas,” tutur Enny.<!--more-->
- Respons pemerintah dinilai lambat
Enny juga mengkritik, dalam menghadapi pandemi, pemerintah tidak benar-benar merespons masalah dengan kebijakan yang tepat. Bahkan menurut Enny, pemerintah malah kebingungan mengambil langkah.
“Mana dulu yang dikerjakan, menyelamatkan ekonomi atau apa, kita hanya sibuk berputar di tataran itu,” tuturnya. Padahal, kata dia, persoalan yang dihadapi di lapangan sudah sangat mendesak untuk segera diselesaikan.
Enny pun mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan pandemi. Ia menyatakan solusi yang diberikan saat ini baru sekedar menggelontorkan likuiditas agar tidak kering. Sedangkan masalah yang menyebabkan likuiditas terganggu masih belum disentuh. “Karena concern-nya tidak tepat, efektivitas kebijakan itu susah dilihat,” ucapnya.<!--more-->
- Cara menahan agar konsumsi tak minus
Enny pun menyampaikan beberapa masukannya kepada pemerintah untuk bisa menahan konsumsi rumah tangga tidak minus. Kuncinya, menurut Enny, adalah menjaga kelompok 40 persen penduduk dengan status sosial ekonomi terendah.
"Kalau yang menengah ke atas itu relatif masih terjaga, asal distribusi, pasokan barang tidak terganggu, dan stabilitas harga kebutuhan pokok tetap terjaga," katanya.
Kemudian, Enny menambahkan, pemerintah harus berupaya untuk menyelamatkan sektor riil. Sebesar 99 persen yang bermain di sektor riil adalah UMKM.
"Jadi fokus saja ke UMKM. Memang semua mengeluh termasuk usaha yang skala besar, tetapi UMKM ini kan enggak punya instrumen lobying yang langsung bisa menghadap Presiden ataupun menteri. Maka itu, sektor UMKM ini yang paling dominan utama menyelamatkan ekonomi kita," katanya.<!--more-->
- Program insentif fiskal
Enny menyoroti sejumlah program insentif fiskal pemerintah yang diberikan selama pandemi Covid-19. Beberapa di antaranya adalah pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk rumah dengan harga jual paling tinggi Rp 2 miliar, serta penurunan tarif pajak penjualan atas barang mewah ditanggung pemerintah (PPnBM DTP) yang mulai berlaku Maret 2021.
Untuk kelas menengah, Enny menganggap bahwa masalah terkait perilaku belanja (spending behaviour) perlu dipertimbangkan oleh pemerintah sebelum memberikan insentif. “Untuk masyarakat menengah ke atas yang sekarang diprovokasi untuk mengeluarkan uangnya itu biasanya membeli perumahan atau kendaraan bermotor untuk lifedata-style atau investasi utamanya properti,” katanya.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | BISNIS | ANTARA
Baca Juga: Ekonom Nilai Kenaikan Cukai Rokok Akan Jadi Masalah Baru