Opsi Penyelamatan, Mungkinkah Garuda Indonesia Bentuk Maskapai Baru?
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 3 Juni 2021 06:32 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Badan Usaha Milik Negara atau BUMN menyiapkan empat opsi penyelamatan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. yang tengah terlilit utang hingga Rp 70 triliun. Opsi-opsi itu mengacu pada studi banding yang dilakukan pemerintah dengan negara-negara lain.
Berdasarkan paparan Kementerian BUMN yang telah disampaikan kepada Dewan Direksi Garuda Indonesia, salah satu opsi itu memungkinkan perusahaan melakukan restrukturisasi dengan mendirikan perusahaan maskapai nasional baru.
Maskapai anyar tersebut diproyeksikan bakal mengambil alih sebagian besar rute domestik Garuda dan menjadi penerbangan nasional di pasar lokal. Cara yang sama pernah dilakukan Belgia untuk Sabena Airlines dan Swiss untuk Swiss Air.
Dalam kondisi likuiditas yang tertekan, mungkinkah Garuda Indonesia membentuk maskapai baru seperti preseden maskapai internasional lain sebelumnya?
Pengamat penerbangan, Alvin Lie, mengatakan, opsi penyelamatan Garuda sepenuhnya merupakan domain pemerintah. Namun bila dilihat dari sisi asetnya, upaya perusahaan untuk membangun maskapai baru dinilai lebih murah.
“Untuk mengembangkan arilines baru, secara bisnis murni lebih murah membangun baru daripada mempertahankan Garuda,” ujar Alvin saat dihubungi, Jumat, 27 Mei 2021.
Apalagi, menurut Alvin, berdasarkan hitung-hitungan akuntansinya, Garuda sudah terhitung pailit karena jumlah utangnya jauh lebih besar ketimbang aset yang dimiliki. Kendati begitu, lantaran statusnya merupakan maskapai nasional, opsi-opsi penyelamatan Garuda tak hanya bisa mempertimbangkan kepentingan bisnis.
<!--more-->
Upaya penyelamatan Garuda juga mesti melihat dari kepentingan politiknya. Dalam hal ini, kredibilitas pemerintah akan disoroti. Apalagi, Garuda merupakan perusahaan terbuka yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia.
“Jadi soal likuidasi ini punya konsekuensi karena Garuda perusahaan Tbk. Artinya, sahamnya dimiliki swasta juga, dijual di bursa efek secara terbuka,” ujar Alvin.
Adapun pengamat penerbangan dari CommunicAvia, Gerry Soejatman, memandang biaya untuk membuat maskapai baru memang lebih murah. Kendati begitu, upaya ini tak menjamin kondisi keuangan perusahaan serta-merta membaik.
“Kalau hanya bikin perusahaan baru dengan semuanya masih sama tidak akan berguna juga,” ujar Gerry.
Ia mencontohkan maskapai luar negeri, seperti Malaysia Airlines, yang dilikuidasi oleh Malaysia Airlines Berhad atau MAB dari semula Malaysia Airlines (MAS). Maskapai itu, kata Gerry, tetap menghadapi masalah serupa meski telah melakukan restrukturisasi menyeluruh meski beban utang dihitung dari nol.
Sedangkan soal Swiss Air dan Sabena, seperti yang disebut-sebut dalam studi pembanding pemerintah, Gerry menyatakan kedua perusahaan itu tidak mendirikan maskapai baru. Perusahaan hanya mengoper maskapai lama ke grup. “Seperti Garuda ditutup dan dioper ke Citilink,” katanya.
Saat melakukan aksi perusahaan, kendali maskapai penerbangan itu pun tak lagi di bawah pemerintah. “Sabena diganti Brussels Airlines. Brussels Airlines dan Swiss, sekarang dua-duanya adalah milik Lufthansa,” ujar Gerry.
Baca: Pertamina Digugat Rp 2,6 T di PN Jakarta Pusat, Ada Apa?