Alasan Menteri Perdagangan Pede RI Tak Lagi Jualan Barang Mentah
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Martha Warta Silaban
Rabu, 27 Januari 2021 12:12 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi percaya diri bahwa Indonesia ke depan tidak lagi berjualan atau mengekspor barang mentah atau setengah jadi. Keyakinan Lutfi disampaikan berdasarkan data neraca perdagangan sepanjang 2020.
"Kita sedang bertransformasi menjual produk industri berteknologi tinggi," kata Lutfi dalam acara Media Group Summit secara virtual pada Rabu, 27 Desember 2021.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat ekspor nonmigas Indonesia sepanjang 2020 mencapai USD 154 miliar. Nilai ini mengalami kontraksi 0,57 persen (year-on-year/yoy).
Sejauh ini, Lutfi menyadari komoditas kelapa sawit dan batu bara masih menjadi ekspor utama Indonesia. Keduanya menjadi dua komoditas ekspor terbesar Indonesia sepanjang 2020, masing-masing USD 20,7 miliar dan USD 17,2 miliar.
Tapi, Lutfi senang melihat komoditas ekspor ketiga terbesar setelah sawit dan batu bara ditempati oleh besi dan baja. Sepanjang 2020, nilai ekspornya mencapai USD 10 miliar.
Bahkan, kata dia, pertumbuhan ekspor besi baja sepanjang 2020 mencapai 46 persen yoy. "Hampir 50 persen, growth-nya tinggi sekali," kata dia.
Di posisi keempat, ada komoditas ekspor mesin dan perlengkapan elektrik yang mencapai USD 9 miliar sepanjang 2020. Angka ini naik tipis 2,46 persen yoy. "Ini karena orang banyak kerja di rumah selama pandemi," kata dia.
Setelah itu, berturut-turut ada komoditas ekspor otomotif dan perhiasan. Untuk otomotif, kenaikan terjadi karena ada investasi yang tinggi dari Jepang. Sementara untuk perhiasan, Ia menilai ini tak lepas dari kreatifitas produk perhiasan dari Indonesia.
Sehingga, data-data inilah yang membuat Lutfi yakin bahwa Indonesia ke depan akan lebih banyak mengekspor barang industri dengan teknologi tinggi, ketimbang barang mentah dan setengah jadi. "Ini akan jadi primadona kita," kata Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi.
Baca Juga: Mendag: Neraca Perdagangan Mengkhawatirkan Meski Surplus USD 21,7 M