TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan surplus neraca perdagangan sebesar US$ 21,74 miliar pada 2020 mengkhawatirkan. Pasalnya, meskipun surplus, ekspor Indonesia tercatat turun 2,6 persen dibanding 2019. Selain itu, impor terkontraksi 17,3 persen dari 2019.
"Jadi saya lihat lagi ke dalam, apa saja koefisien dari surplus tersebut, bahwa ini terjadi pelemahan karena barang impor kita 70,2 persen adalah bahan baku dan bahan penolong. Jadi kalo impor turun 17,3 persen saya takut akan terjadi pelemahan terhadap sektor-sektor produksi yang dikonsumsi di dalam negeri," ujar Lutfi dalam webinar, Selasa, 26 Januari 2021.
Kondisi surplus perdagangan tersebut pun berbeda dengan surplus tinggi pada 2012. Pada 2012, kata Lutfi, harga komoditas sedang melambung tinggi, sehingga Indonesia mendapatkan keleluasaan dari kondisi tersebut. Saat itu, harga minyak bisa menyentuh kisaran US$ 100-150 per barel, sementara batubara New South Wales mencapai lebih dari US$ 100.
"Jadi kita mendapatkan surplus lebih dari US$ 20 miliar dolar. Hari ini, US$ 21 miliar dolar, tapi menurut hemat saya mengkhawatirkan," ujar Lutfi.
Ibarat lari maraton, kata Lutfi, Indonesia pada 2012 menghadapi jalan turunan. Sementara pada 2020, Indonesia ibarat menghadapi jalan tanjakan, tergopoh-gopoh, dan dengan kaki terkilir. Untuk bisa bertahan mencapai garis finis, ia mengatakan Indonesia harus mengerjakan beberapa hal.
Pertama-tama, kata dia, analoginya adalah menyiasati kaki yang terkilir untuk bisa mencapai garis finis. "Bagaimana menyiasati kaki yang terkilir? kita harus memperbaiki struktur produksi dan konsumsi dalam negeri," ujar Lutfi.