Pengusaha Tekstil Desak Pemerintah Evaluasi Perjanjian Dagang, Kenapa?
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 15 Januari 2021 05:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Para pengusaha yang tergabung dalam asosiasi pengusaha tekstil meminta pemerintah mengevaluasi setiap perjanjian dagang yang dilakukan dengan negara lain. Lantaran, sejumlah perjanjian dinilai telah merugikan bagi industri tekstil di Tanah Air.
"Kami bukan anti perjanjian dagang, tapi harus dihitung cermat," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 14 Januari 2021.
Ini adalah salah satu poin dalam 9 pernyataan sikap yang disampaikan pengusaha tekstil usai bertemu dengan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. Selain APSyFI, permintaan ini juga disuarakan oleh Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI).
Redman mencontohkan kerja sama perdagangan bebas atau Free Trade Area (FTA) ASEAN-Cina. Menurut dia, ini adalah salah satu faktor yang membuat industri tekstil lokal mulai terpuruk.
Sebab, kegiatan impor bisa dilakukan dengan bea masuk 0 persen. Sehingga, industri lokal harus berhadapan langsung head to head dengan industri tekstil Cina.
<!--more-->
Menurut Redma, kondisi ini kemudian membuat neraca perdagangan Indonesia Cina sekarang menjadi defisit. Dari semula yang sempat surplus.
Keluhan semacam ini sebenarnya juga disampaikan pengusaha sejak tahun lalu.
Kala itu, mereka mengeluhkan maraknya produk impor asal Cina, dan juga Turki, yang mengakibatkan serapan produk lokal terganggu.
Setelah produk tirai dan kain impor, kini giliran pasar karpet dan sajadah yang tergerus lantaran persaingan harga yang tak seimbang. Sekretaris Eksekutif API Rizal Tanzil Rakhman mengemukakan bahwa kenaikan impor karpet dan sajadah mencapai 25,2 persen setiap tahun sejak 2017.
“Sekarang utilisasi produsen karpet dan sajadah tersisa 40 persen, banyak yang telah mengurangi produksi dan pekerjanya karena kondisi ini ditambah dengan tekanan Covid-19,” ujar Rizal saat itu, dikutip dari Bisnis.com.
Dia lalu memaparkan bahwa produk karpet asal Cina biasanya masuk ke Indonesia dengan harga US$ 2,5 per kilogram, sedangkan produk asal Turki senilai US$ 1,3 per kg. Harga produk tekstil ini disebutnya lebih murah 40 persen dibandingkan dengan produk serupa yang diproduksi di dalam negeri.
Baca: Konsumsi Turun Selama Pandemi, Faisal Basri: Orang Tak Pernah Beli Baju Baru