Pemerintah Jajaki Utang Lebih Cepat untuk APBN 2021, Indef Ingatkan Ini
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 25 November 2020 11:15 WIB
JAKARTA — Pemerintah menjajaki peluang melakukan pembiayaan dini atau prefunding berupa penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dalam jumlah besar sebelum tahun anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2021 dimulai.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Luky Alfirman, menuturkan pemerintah ke depan akan terus mencermati perkembangan kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai pertimbangan.
“Kami juga tentunya melihat dinamika pasar, dan saat ini pasar SBN sedang sangat positif,” ujarnya, Selasa 24 November 2020. Sentimen global yang membaik serta ketersediaan likuiditas menyiratkan kondisi pasar keuangan yang terjaga.
“Kemungkinan prefunding tetap terbuka. Bentuknya tidak harus dalam valuta asing, tapi bisa juga rupiah.”
Di sisi lain, ucap Luky, pemerintah mencatat dukungan pembiayaan dari Bank Indonesia terbukti memberikan dampak positif bagi APBN. Dengan demikian, pembiayaan dari bank sentral akan terus diandalkan sesuai dengan kebutuhan penanganan Covid-19, termasuk untuk kebutuhan pengadaan vaksin. “Ada kemungkinan carry over (pengalihan anggaran dari tahun sebelumnya) di APBN 2021.”
<!--more-->
Hingga akhir Oktober lalu, pemerintah telah menarik utang sebesar Rp 958,6 triliun atau tumbuh 143,8 persen dari penarikan utang periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 393,2 triliun. Diperkirakan, sampai akhir tahun ini pemerintah masih akan menarik pinjaman baru kurang-lebih sebesar Rp 300 triliun.
Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fadhil Hasan, meminta pemerintah berhati-hati dalam menarik utang baru pada 2021.
Pasalnya, beban utang berpotensi terus meningkat mendekati ambang batas aman maksimal 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). “Risiko yield SUN (Surat Utang Negara) kita dibanding negara-negara lain juga relatif tinggi,” ucapnya.
Fadhil memprediksi pada 2021 pemerintah masih banyak bergantung pada pembiayaan anggaran yang bersumber dari Bank Indonesia melalui skema burden sharing. “Hal ini perlu diperhatikan juga karena konsekuensinya adalah kenaikan defisit bank sentral karena beban yang terus bertambah.”
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, dalam kondisi pandemi saat ini, kenaikan beban utang terjadi pada banyak negara. Dia mencontohkan, utang negara-negara anggota G20 meningkat mulai dari 30 persen hingga 50 persen untuk keperluan penanggulangan Covid-19 serta pemulihan ekonomi.
<!--more-->
“Untuk negara yang sebelum krisis utangnya 100 persen dari PDB sekarang melonjak ke 130 persen, lalu negara berkembang dari rata-rata 50 persen PDB naik hingga 70 persen," kata dia.
Adapun total utang Indonesia hingga akhir September 2020 tercatat sebesar Rp 5.756,87 triliun atau memiliki rasio utang 36,41 persen terhadap PDB. Sri Mulyani memastikan setiap kebijakan penarikan pinjaman telah dilakukan dengan perencanaan yang cermat dan terukur, sehingga tidak perlu menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan.
Sri Mulyani mengimbuhkan, Bank Indonesia ke depan akan tetap berpartisipasi dalam lelang SBN, baik lelang regular, green shoe option (lelang tambahan), maupun private placement (penjualan langsung). “Terakhir, pemerintah tetap akan terus menerbitkan SBN ritel sebagai upaya pendalaman pasar dengan mempertimbangkan minat investor domestik yang tinggi.”
Baca: Sri Mulyani: Pemimpin G20 Awasi Potensi Naiknya Utang Karena Penanganan Covid-19
GHOIDA RAHMAH