Pengusaha Kritik DPR Soal RUU Minuman Beralkohol: Tidak Ada Urgensinya
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Sabtu, 14 November 2020 13:46 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Indonesia (APIDMI) Ipung Nimpuno menilai langkah 21 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membahas Rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol tidak mendesak. RUU Minuman Beralkohol ini justru ditengarai menambah beban pengusaha di tengah pelemahan ekonomi karena krisis pandemi Covid-19.
“Di situasi ekonomi yang lagi krisis, tidak ada gentingnya DPR dorong RUU ini, tidak ada urgensinya,” ujar Ipung saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 14 November 2020.
Alih-alih merembuk soal minuman beralkohol, Ipung memandang semestinya DPR lebih berfokus menyelesaikan masalah penangan Covid-19 bersama pemerintah dan masyarakat. Apalagi konsumsi minuman beralkohol di Indonesia tercatat sangat kecil, yakni hanya 0,2 persen dari jumlah penduduk secara keseluruhan.
Persentase konsumsi minuman beralkohol ini setara dengan 1 mililiter per orang. Angka ini jauh lebih rendah dari konsumsi di Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Wacana pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol bukan kali pertama muncul dari gedung parlemen. Sejak 2014-2015, DPR memasukkan RUU yang sama, yakni yang mengatur tata-niaga minuman beralkohol. Namun RUU ini menguap.
Menurut Ipung, bila ingin mengatur soal minuman beralkohol, semestinya DPR berfokus pada konsumsi miras jenis oplosan. Oplosan adalah minuman yang mencampurkan zat metanol dan bahan-bahan lain yang membahayakan bagi kesehatan.
<!--more-->
Sementara itu, industri minuman beralkohol resmi justru memiliki kontribusi terhadap perekonomian. Ia mengatakan industri minuman beralkohol menyerap ratusan ribu tenaga kerja baik dari sisi hulu hingga hilir. “Dari importir saja sudah menyerap tenaga kerja 3.000 orang,” ucapnya.
Belum lagi dari asosiasi pengusaha bir dan di luar bir, seperti anggur produksi Orang Tua. Industri tersebut bisa menyerap tenaga kerja berkali lipat lebih banyak dari kebutuhan importir. Dari sisi indirect atau industri tidak langsung, Ipung menyatakan sumber daya manusia terserap dari gerai khusus penjual minuman beralkohol, distributor, hingga industri pariwisata.
Di samping menyumbang serapan terhadap tenaga kerja, sektor usaha minuman beralkohol mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dari industri-industri rumah tangga yang memproduksi minuman arak tradisional, seperti Brem Bali dan Cap Tikus. “Pemda pun sudah mendorong sebagai produksi lokal yang dikenal di internasional,” ucapnya.
Meski memiliki potensi besar terhadap perekonomian, Ipung mengakui permintaan minuman beralkohol di dalam negeri sepanjang 2020 turun hingga 80 persen akibat pandemi Covid-19. Selain terdorong situasi krisis, industri ini mengalami hambatan karena surat perizinan impor alias SPI dari Kementerian Perdagangan terlambat turun.
Menurut Ipung, semestinya SPI sudah diterbitkan sejak awal tahun untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sepanjang 2020. Namun, Kementerian Perdagangan baru menerbitkan surat tersebut pada Oktober 2020 sehingga impor minuman beralkohol terlambat masuk ke Indonesia. “Kami baru bisa datangkan barang pada Desember karena butuh waktu dua bulan untuk memproses,” ucapnya.
Baca: RUU Minuman Beralkohol Disorot, Bagaimana Kondisi Industri di Dalam Negeri?