Regulasi yang Berubah-ubah Disebut Hambat Pengembangan Energi Terbarukan di RI
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Kodrat Setiawan
Kamis, 22 Oktober 2020 14:22 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan selama ini salah satu hambatan dalam pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia adalah regulasi yang acapkali berubah, yang disebutnya sebagai up and down.
"Mungkin dukungan dari pemerintah bahwa ingin melakukan diversifikasi energi itu clear. Tapi ketika keluar kebijakan dalam bentuk regulasi, regulasi itu berubah-ubah," ujar Surya dalam Tempo Energy Day 2020, Kamis, 22 Oktober 2020.
Surya mengatakan regulasi yang dikeluarkan pemerintah kadang kala memberikan daya tarik bagi investasi, namun kemudian aturan itu diubah kembali. Sehingga, tutur dia, para investor tidak diberikan satu kepastian dalam berusaha dan mendapat aspek legalitas.
"Karena itu lah kenapa, salah satu yang saya kira harus diapresiasi adalah akan terbit peraturan presiden. Kita berharap Perpres tidak mudah berubah, sebagaimana peraturan menteri yang terdahulu. Itu yang kami sebut up and down," ujar Surya.
Contoh kebijakan yang naik turun, kata Surya, adalah perkara harga pembelian energi terbarukan. Dalam kebijakan harga energi, penjualan listrik dari produsen kepada PLN dilakukan dengan harga yang dinegosiasikan. Namun, ia mengatakan tarif energi terbarukan masih lebih tinggi dari energi lain yang lebih murah.
Dulu misalnya, kata dia, di Indonesia semua listrik yang dihasilkan IPP swasta harus dijual ke PLN. Dalam konteks ini PLN single buyer. Sehingga penjualan tersebut sangat bergantung kepada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terhadap harga energi.
"Ini bagi PLN akan menjadi hambatan karena mereka akan cenderung memilih energi yang jauh lebih murah. EBT dinegosiasi dibandingkan dengan energi yang lebih murah. Sehingga itu tidak bisa jalan," ujar dia.
<!--more-->
Karena itu, kata Surya, kebijakan yang dikeluarkan harus ada kepastian harga feed-in tariff sesuai keekonomian energi yang dihasilkan. Setiap energi, satu sama lain akan berbeda tarifnya. Karena itu, tutur dia, sempat keluar peraturan menteri soal feed-in tariff.
"Tapi tidak semua kebijakan menteri soal feed-in tariff akan diterima PLN, dan itu tidak bisa dieksekusi. Jadi seolah peraturan menteri tidak bisa dieksekusi, sementara developer tidak ada kepastian," ujar Surya.
Akhirnya, kata dia, pemerintah pun mengeluarkan kembali aturan yang mengembalikan harga listrik agar bisa diterima PLN, yaitu 85 persen dari Biaya Pokok Penyediaan Listrik oleh PLN.
Namun, Surya mengatakan BPP PLN itu diambil dari bauran energi di PLN, baik yang dibangun di masa lalu dan yang saat ini. "Lalu dibandingkan dengan energi yang baru dibangun, tidak apple to apple. Jadi itu pasti tidak memiliki nilai keekonomian. Ini mungkin yang dikeluhkan, dan sekarang saya kira sudah direspon dengan baik. Itu akan dituangkan dalam perpres," ujar dia.
Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Harris Yahya menjelaskan perkara up and down yang dimaksud Surya. Ia menyebut regulasi yang kerap berubah adalah yang di tingkat menteri.
"Kalau regulasi level undang-undang atau perpres itu belum berubah. tapi yang berkaitan dengan peraturan menteri memang ada beberapa kali perubahan. Yang kita dipakai Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 yang sudah beberapa kali direvisi untuk akomodir pengembangan EBT," ujar Harris.
Perkara berubah-ubahnya regulasi itu, menurut Harris, telah menjadi catatan pemerintah. Sehingga, sekarang, aturan yang mengatur harga EBT akan diangkat menjadi Perpres. "Harapannya kalau menjadi Perpres, semua akan melaksanakan sesuai yang diatur di dalam perpres."
CAESAR AKBAR
Baca juga: Erick Thohir: Jangan Buat Kebijakan yang Menghambat Transformasi Energi Nasional