Ramai Penolakan Omnibus Law Dinilai Bisa Buat Investor Enggan Masuk ke RI
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 8 Oktober 2020 07:01 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance Ahmad Heri Firdaus menilai ramainya penolakan dari kelompok masyarakat terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja, hingga terjadinya mogok kerja buruh, bakal membuat investor berpikir ulang untuk berinvestasi di Indonesia.
"Mereka melihat demo buruh mogok kerja, akan berpikir kalau investor masuk ke Indonesia dan mogok kerja malah jadi rugi. Sehingga kondisi ini bukannya menjadi insentif, malah disinsentif," ujar Ahmad kepada Tempo, Rabu, 7 Oktober 2020.
Heri menyebut sebuah peraturan semestinya dijalankan berdasarkan aspirasi bersama. Namun, banyaknya penolakan terhadap beleid ini justru menandakan ada hal yang belum kokoh dari substansi aturan ini, salah satunya belum mengakomodasi kepentingan buruh.
"Kalau sudah seperti ini yang sudah dirugikan kan pengusaha, industri, pemerintah, dan buruh juga lantaran bisa kehilangan income karena demo," kata Heri.
Hal senada juga disampaikan oleh ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal. Fithra melihat motivasi pemerintah cukup positif dalam membentuk aturan ini dan Indonesia memang membutuhkan undang-undang tersebut sebagai pondasi penunjang produksi Industri ke depannya. Namun, ia melihat lahirnya beleid ini tidak melibatkan partisipasi publik secara menyeluruh. Akibatnya, penolakan pun terjadi dari berbagai kalangan.
Selain dari kalangan buruh, beleid ini juga ditolak oleh para pegiat lingkungan, akademikus, bahkan para investor global. Belum lama ini, berdasarkan keterangan resmi yang diterima Tempo, 36 perusahaan investasi global dengan total dana kelolaan mencapai US$ 4,1 triliun di Indonesia pun menyatakan prihatin dengan adanya Omnibus Law. Salah satu alasannya, dengan adanya undang-undang baru ini, bisa merusak lingkungan seperti hutan tropis di Indonesia.
"Kalau melihat penolakan yang semakin besar seperti aktivis lingkungan, ahli hukum, akademikus, artinya partisipasi publik minim, sehingga investor akan melihat juga kestabilan politik," ujar Fithra. Kalau demikian, alih-alih membuat para pemodal masuk ke Indonesia, bisa-bisa mereka malah beralih ke negara lain. "Kalau ada penolakan besar justru menghambat investasi itu sendiri."
<!--more-->
Kondisi ini lah, yang menurut Fithra harus menjadi perhatian pemerintah. Ia menyadari bahwa dalam membuat sebuah kebijakan, pemerintah tidak bisa memuaskan semua pihak. Namun, setidaknya pemerintah diminta untuk bisa menciptakan konsensus yang akan dijalankan semua pemangku kepentingan.
Belum lagi, ia merasa pemerintah dan DPR masih punya banyak waktu untuk mematangkan beleid tersebut, alih-alih buru-buru mengesahkannya. "dari pengalaman pembuatan Undang-undang butuh waktu setidaknya satu tahun lebih untuk ditetapkan, ini kan baru sekitar enam bulan pembahasan, jadi ada peluang mendengar masukan-masukan, tapi ruang itu tidak dibuka dengan baik," ujar dia.
Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengatakan buruh kembali melanjutkan aksi unjuk rasa Mogok Nasional serentak di seluruh Indonesia pada hari ini. "Setelah kemarin ratusan ribu bahkan hampir satu juta buruh keluar dari pabrik-pabrik untuk mengikuti mogok nasional, hari ini kami akan melanjutkan pemogokan tersebut," kata Said Iqbal dalam keterangan tertulis.
Berdasarkan catatan KSPI, aksi kemarin dilakukan di berbagai daerah industri seperti Serang, Cilegon, Tangerang, Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Cianjur, Bandung, Semarang, Surabaya, Pasuruan, Gresik, Mojokerto, Lampung, Medan, Deli Serdang, Batam, Banda Aceh, Banjarmasin, Gorontalo, dan lain sebagainya.
Said Iqbal membantah jika ada yang mengatakan apa yang dilakukan buruh adalah mogok kerja secara ilegal. Menurutnya, pemogokan ini dilakukan sebagai bentuk protes kaum buruh atas pengesahan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja.
Buruh, kata Said Iqbal. meminta Pemerintah dan DPR RI membatalkan omnibus law, karena di dalamnya ada persoalan mendasar bagi mereka. Hal yang mereka persoalkan misalnya pengurangan pesangon, karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, UMSK dihilangkan, ada syarat khusus untuk penetapan UMK, hingga potensi hilangnya jaminan kesehatan dan pensiun bagi karena penerapan kontrak dan outsourcing.
Baca: Sri Mulyani Blakblakan Jelaskan Soal 'Klaster Selundupan' dalam UU Cipta Kerja