Izinkan Ekspor Lobster, Edhy Prabowo: Saya Enggak Peduli Dibully
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Senin, 6 Juli 2020 14:24 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Suara Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sedikit meninggi saat menyampaikan argumen terkait maksud pemerintah membuka ekspor benih lobster dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 6 Juli 2020. Dalam penjelasannya, ia sekaligus menjawab isu dugaan konflik kepentingan dalam pemberian izin ekspor kepada 30 eksportir yang diduga berafiliasi dengan kader Partai Politik.
“Mohon maaf terbawa semangat. Tapi yang jelas saya enggak mau menari untuk popularitas,” ujar Edhy pada pengujung rapat.
Edhy mengakui kebijakannya terkait ekspor benur menuai hujan kritik. Pemberian izin ekspor kepada sembilan perusahaan sempat dimasalahkan lantaran diduga menspesialkan entitas tersebut.
Padahal, menurut Edhy, Kementerian membuka kesempatan yang sama untuk seluruh korporasi maupun koperasi yang berniat ingin mengajukan izin. Di samping itu, ia menerangkan, pihak yang berwenang memberikan izin bukan berasal dari menteri langsung, melainkan tim yang terdiri atas direktorat jenderal terkait, irjen, hingga sekjen kementerian.
Lebih lanjut, untuk menanggapi sorotan miring terhadap Kementerian, dia menyatakan tidak terlampau ambil pusing. “Saya enggak peduli akan dibully selama tujuannya menyejahterakan rakyat. Saya juga enggak peduli muka saya digambar telanjang, yang penting bikin rakyat makan,” ucapnya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan pimpinan Edhy Prabowo membuka izin ekspor benih lobster melalui Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020. Beleid ini sekaligus membatalkan regulasi sebelumnya pada era kepemimpinan Susi Pudjiastuti yang melarang pengiriman bayi lobster ke luar negeri.
Majalah Tempo edisi 6 Juli 2020 mengulas sejumlah fakta di balik giat ekspor benur lobster di masa kepemimpinan Edhy. Dalam pembukaan ekspor tersebut, KKP dilaporkan telah memberikan izin kepada 30 perusahaan yang terdiri atas 25 perseroan terbatas atau PT, tiga persekutuan komanditer alias CV, dan dua perusahaan berbentuk usaha dagang atau UD. Penelusuran Tempo menemukan 25 perusahaan itu baru dibentuk dalam waktu 2-3 bulan ke belakang.
<!--more-->
Di samping itu, sejumlah kader partai diduga menjadi aktor di belakang perusahaan-perusahaan ini. Pada PT Royal Samudera Nusantara, misalnya, tercantum nama Ahmad Bahtiar Sebayang sebagai komisaris utama. Bahtiar merupakan Wakil Ketua Umum Tunas Indonesia Raya, underbouw Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra. Tiga eksportir lainnya juga terafiliasi dengan partai yang sama. Ada pula nama Fahri Hamzah, mantan Wakil Ketua DPR, sebagai pemegang saham salah satu perusahaan. Muncul juga nama lain dari Partai Golkar.
Selanjutnya, tertera nama Buntaran, pegawai negeri sipil (PNS) yang dipecat pada era Menteri Susi. Dia terlibat perkara penyelundupan benih lobster dan pencucian uang sehingga divonis 10 tahun penjara.
Edhy menyangkal kebijakannya dilakukan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. “Sedikit pun saya tidak ingin memperkaya diri sendiri atau pihak tertentu. Saya juga tidak punya bisnis di industri perikanan dan kelautan,” katanya.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman meminta Komisi Pemberantasan Korupsi segera mengusut proses pemberian izin ekspor benih lobster. “KPK juga harus menghentikan kegiatan ekspor benih lobster setidaknya untuk sementara sambil menunggu hasil kajian yang dilakukan Tim KPK,” ujar Boyamin dalam keterangannya.
Boyamin menilai, semestinya izin ekspor bayi lobster tidak pernah dibuka karena merugikan nelayan. Musababnya, nelayan akan memperoleh nilai beli sangat kecil dan kegiatan ini hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu dan pemodal skala besar.
“Jika terpaksa izin ekspor benih lobster, harus diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat dan perusahaan yang di daerah sehingga akan merata,” katanya. Ia mengimbuhkan, KPK harus memperlakukan kasus ekspor lobster seperti kajian Kartu Prakerja yang sementara disetop untuk kajian mendalam.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | MAJALAH TEMPO