Kisah Eks Bos Merpati Menanti Janji Pembayaran Hak Solvabilitas
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Rahma Tri
Kamis, 2 Juli 2020 05:03 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Dering notifikasi telepon seluler milik Ridwan Fatarudin hampir tak henti berbunyi dalam beberapa bulan terakhir. Ponsel Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines periode 1992-1995 itu menampung hampir 200 pesan pendek saban hari. Ratusan pesan itu datang dari pensiunan perusahaan yang mengeluhkan ketidakjelasan pembayaran hak solvabilitas setelah Merpati bangkrut.
“Apalagi masa pandemi, situasinya makin sulit, mereka bingung. Para mantan karyawan ini kondisinya berbeda-beda. Misalnya, ada janda yang tidak punya income sama sekali,” ujar Ridwan sembari berkerut saat ditemui Tempo di rumahnya, Utan Kayu, Jakarta Timur, Sabtu petang, 27 Juni lalu.
Pesan-pesan yang mendarat di layar telepon pria berusia kepala delapan itu membuat dia pusing lantaran seluruhnya berisi keluhan. Tak sedikit juga yang bertanya: “Kapan kira-kira hak pensiunan cair?”.
Ridwan berkisah, para pensiunan maskapai ini sekarang seret menerima pembayaran hak solvabilitas dari Tim Likuidasi Dana Pensiun Merpati. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, pencairan uang tersebut macet.
Sejak Merpati bangkrut pada 2014 dan memutuskan setop operasi, yayasan Merpati yang membidangi dana pensiunan memang ikut gulung tikar. Alasan pembubaran Yayasan Dana Pensiun ini adalah ketidakmampuan manajemen dalam membayarkan iuran. Musababnya, dana pensiun dihimpun dari iuran perusahaan sebesar dua per tiga persen dan iuran karyawan yang dipotong dari gaji sebesar sepertiga persen. Kala itu, perusahaan bahkan telah memiliki utang kewajiban iuran kepada Yayasan sebesar Rp 14 miliar.
Dengan kondisi tersebut, seluruh hak pensiun yang seharusnya diterima oleh purnabakti dan karyawan yang terkena kebijakan PHK, yang jumlahnya mencapai 1.748 orang, pun dialihkan menjadi hak solvabilitas. Berdasarkan hitungan aktuaria, total nilai solvabilitas milik pemegang hak dana ini mencapai Rp 96,4 miliar.
<!--more-->
Dari angka itu, sebesar Rp 48 miliar telah dibayarkan sedari 2014 dari hasil penjualan aset-aset anak usaha Merpati. Artinya, berdasarkan nilai perhitungan aktuaria, Merpati masih memiliki kewajiban pembayaran hak solvabilitas sebesar Rp 48,4 miliar.
Ridwan telah lima kali bersurat kepada manajeman Merpati dan Tim Likuidasi Dana Pensiun Merpati—tim yang ditunjuk menjadi pihak yang menyelesaikan sisa harta maupun utang setelah perusahaan atau badan usaha. Surat ini dilayangkan sejak 2018, seusai pemegang hak tidak lagi menerima pencairan solvabilitas dari pemangku kewajiban. Namun kata dia, manajemen tak jua memberikan respons dan penjelasannya.
Terakhir, Ridwan yang juga merupakan Ketua Umum Perhimpunan Purnabakti Merpati Airlines menyorongkan surat bernomor 28/PURNA MNA/VI/2020 kepada Direktur Utama Merpati Asep Ekanugraha pada 17 Juni 2020. Isi surat itu masih sama dengan surat-surat sebelumnya, yakni meminta kejelasan penyelesaian pembayaran hak solvabilitas.
Namun, saat dikonfirmasi terkait persoalan itu, Bos Merpati saat ini, Asep, tidak menjawab pesan Tempo hingga Rabu, 1 Juli 2020. Telepon yang ditujukan kepada dia pun belum kunjung direspons.
Ditemui di lokasi yang sama, mantan Corporate Secretary & Legal Merpati, Imam Turidy, mengatakan para pensiunan juga mempertanyakan proses penjualan aset Yayasan Dana Pensiun yang belum kunjung laku. Sebab bila aset berhasil dijual, tak ayal Tim Likuidasi akan dapat segera merampungkan kewajiban pencairan seluruh nilai solvabilitas kepada pemegang saham kolektif.
Adapun aset yang dimaksud adalah PT Prathita Titiannusantara, yakni perusahaan yang bergerak di sektor groundhandling pesawat, dan PT Mega Kargo. “Ini aset primadona, tapi kenapa tidak pernah laku sejak 5,5 tahun yang lalu,” tuturnya.
<!--more-->
Imam mengklaim sudah ada tiga perusahaan yang menyatakan komitmen untuk membeli dua perseroan tersebut. Nilai tawar ketiganya dikatakan lebih dari Rp 75 miliar. Namun, kata dia, selalu gagal. “Kami ingin manajemen Merpati mengevaluasi Tim Likuidasi,” ujarnya.
Di samping itu, ia pun memasalahkan proses penjualan aset BUMN ini yang tidak transparan serta tidak adanya komunikasi antara Tim Likuidasi dan perwakilan pemegang hak solvabilitas. “Tim Likuidasi hanya mengirim satu kali surat balasan berisi undangan bertemu tanpa memperhatikan jeda waktu yang pantas dan tidak menggubris permintaan kami untuk menunda pertemuan karena kami berhalangan pada tanggal dan waktu yang ditetapkan mereka secara sepihak,” ucap Imam.
Dimintai keterangan terkait masalah tersebut, Ketua Tim Likuidasi Puja Jahara tidak memberikan respons baik melalui telepon maupun pesan pendek. Sedangkan salah satu anggota Tim Likuidasi, Soemadji AS, enggan memberikan jawaban. “Silakan hubungi Ketua Tim Likuidasi,” tuturnya. Anggota Tim Likuidasi lainnya, Bambang Ismoyo, juga tidak memberikan jawaban.
Anggota Ombudsman RI sekaligus pengamat penerbangan, Alvin Lie, menilai masalah eks karyawan Merpati semestinya menjadi perhatian Kementerian BUMN dan manajemen perusahaan. Musababnya, kasus ini telah bergulir sejak bertahun-tahun lalu dan belum kelar juga hingga hari ini. “Ini juga membutuhkan niat baik tidak hanya dari manajemen Merpati, tapi juga Kementerian BUMN untuk memberikan hak pekerja,” ujar Alvin, 24 Juni lalu.
Di samping permasalahan solvabilitas, persoalan yang belum tuntas di perusahaan maskapai ekor kuning itu adalah pembayaran pesangon karyawan. Setidaknya, ada 1.233 mantan karyawan yang haknya belum dipenuhi oleh perusahaan. Sebagian besar karyawan tercatat belum menerima pelunasan pesangon sebesar 50 persen, sementara sisanya sama sekali belum memperoleh uang putus. Adapun Total tanggungan PHK yang harus dipenuhi Merpati mencapai Rp 318,17 miliar.
Dimintai tanggapan terkait sejumlah masalah di tubuh Merpati, Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin belum memberikan jawabannya. Begitu pula dengan Staf Khusus Bidang Komunikasi Kementerian BUMN, Arya Sinulingga.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA