TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah mantan karyawan PT Merpati Nusantara Airlines berencana menemui Menteri BUMN Erick Thohir pada Senin, 22 Juni 2020, untuk melaporkan pelbagai masalah yang terjadi di perusahaan maskapai tersebut. Salah satu masalah yang akan disinggung ialah adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diduga dilakukan secara paksa.
"Pada 2015/2016 ada program dari pemerintah untuk restrukturisasi Merpati. Namun program itu dipelintir menjadi program PHK paksa," ujar Ketua Tim Dobrak Merpati Ery Wardhana saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 20 Juni 2020.
Ery mengatakan karyawan terpaksa menandatangani kontrak P5 atau penawaran paket penyelesaian permasalahan pegawai lantaran perusahaan mengadakan program PHK sukarela. Menurut dia, pegawai yang tidak mau menandatangi program itu terancam dimasalahkan melalui pengadilan hubungan internasional atau PHI.
Hasilnya, hampir 100 persen karyawannya meneken program. Sedangkan sebagian kecil lainnya yang menolak program ini, tutur Ery, telah digugat.
"Sehingga hampir seluruhnya karyawan yang pada awalnya menolak program ini, akhirnya dengan terpaksa menerima program ini," ujarnya.
Selanjutnya setelah meneken kontrak PHK, karyawan dijanjikan mendapatkan pesangon dari perusahaan. Namun kata Ery, nilainya tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku tentang ketenagakerjaan.
Sementara itu, berdasarkan kesepakatan, pesangon tersebut akan dilunasi dalam kurun 2016-2018 dan diterimakan sebanyak dua kali. Akan tetapi sampai saat ini, pesangon yang sampai ke tangan pegawai baru sebesar 50 persen dari total nilai yang dijanjikan.
Ery kemudian menuntut dibayarkannya sisa pesangon karyawan dan hak-hak lainnya seperti dana pensiun yang saat ini masih ditunggak oleh perusahaan meski sebelumnya perusahaan telah memperoleh izin Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Total tunggakan Merpati yang tercatat hingga hari ini adalah sebesar Rp 318,17 miliar.
Kebutuhan anggaran itu untuk mencukupi pelunasan uang pensiun bagi 1.233 orang karyawan yang haknya belum dipenuhi oleh perusahaan. Dihubungi terkait rencana pertemuan Erick dan eks karyawan Merpati, Staf Khusus Menteri BUMN Bidang Komunikasi, Arya Sinulingga, belum merespons pesan Tempo.
Adapun Merpati Air sebelumnya telah berhenti beroperasi sejak Februari 2014. Kementerian BUMN kala itu mengambil jalan untuk merestrukturisasi Merpati melalui melalui PT. Perusahaan Pengelola Aset (PPA) dengan skema penyertaan modal pemerintah. PMN yang disetujui pada 2015, kata Ery, adalah senilai Rp 500 miliar atau lebih rendah dari pengajuannya yang sebesar Rp 800 miliar.
Dari dana itu, Ery menceritakan, prioritas anggaran digunakan untuk penyelesaian masalah karyawan, yakni sebesar Rp 300 miliar. Sedangkan Rp 200 miliar lainnya untuk proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), administrasi, dan pra-operasi untuk terbitkan AOC atau izin terbang kembali.
Ery mengaku, sejatinya Tim Dobrak Merpati sudah sempat memohon bantuan kepada mantan Menteri BUMN Rini Soemarno. Namun, permohonan tersebut tidak membuahkan hasil. "Sudah sejak lama kami menyuarakan ini, tetapi dilakukan pembiaran," tuturnya.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA