Tren Utang Luar Negeri Diproyeksi Semakin Naik
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 17 Juni 2020 12:25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta- Utang luar negeri Indonesia diproyeksi akan terus meningkat hingga akhir tahun ini. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam berujar peningkatan utamanya akan terjadi pada utang luar negeri pemerintah. Perilaku agresif pemerintah dalam menarik pembiayaan kata dia tak terlepas dari kondisi pandemi Covid-19 yang membutuhkan pembiayaan tambahan untuk penanggulangannya hingga Rp 695,20 triliun.
“Di satu sisi penerimaan pemerintah menurun drastis, sehingga defisit anggaran melebar dan membutuhkan pembiayaan yang jauh lebih besar,” ujar Piter kepada Tempo, Selasa 16 Juni 2020.
Sebagian dari pembiayaan itu berasal dari penerbitan surat utang global atau global bond hingga pinjaman bilateral dan multilateral. Berdasarkan catatan Bank Indonesia, hingga akhir April 2020 total utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 400,2 miliar atau setara dengan Rp 5.642,8 triliun (asumsi kurs Rp 14.100 / US$). ULN sektor publik atau milik pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 192,4 miliar, sedangkan ULN sektor swasta termasuk BUMN sebesar US$ 207,8 miliar.
Secara keseluruhan ULN tumbuh 2,9 persen (year on year) atau lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada Maret 2020 sebesar 0,6 persen. “Fenomena ini akan berlanjut selama wabah masih berlangsung, karena kondisi kita sekarang ini dalam suasana tidak normal dan tidak banyak pilihan,” katanya.
Piter melanjutkan anggaran kebutuhan penanggulangan dampak wabah berpotensi terus bertambah, sehingga sebagai konsekuensinya peningkatan utang pun tak terhindarkan.
Menurut Piter, alih-alih menggenjot pembiayaan dari ULN, sumber pembiayaan dari dalam negeri seharusnya bisa menjadi pilihan. Namun, kemampuan pembiayaan dalam negeri sangat terbatas, oleh karena itu pemerintah membuat kebijakan yang memungkinkan pembelian surat utang pemerintah oleh Bank Indonesia di pasar perdana.
Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. “Semakin besar porsi surat utang pemerintah yang dibeli BI, semakin kecil porsi utang luar negeri,” ucap Piter.
<!--more-->
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Onny Widjanarko berujar rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir April lalu sebesar 36,5 persen atau meningkat dari rasio bulan sebelumnya sebesar 34,6 persen. “Meski demikian, struktur ULN kita tetap sehat, didukung penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya,” ujarnya.
Terlebih, struktur ULN didominasi oleh utang jangka panjang dengan pangsa sebesar 88,9 persen dari total ULN. “Bank Indonesia dan pemerintah akan terus meningkatkan koordinasi dalam memantau perkembangan ULN ke depan,” ucapnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan terdapat risiko yang patut diwaspadai pemerintah ketika ingin menarik utang valas di tengah situasi saat ini.
Risiko pertama berkenaan dengan debt to service ratio (DSR) sebagai indikator kemampuan membayar utang yang cenderung memburuk. Pada akhir tahun lalu DSR mencapai 18 persen, kemudian meningkat menjadi 27,6 persen di kuartal 1 2020. “
Kenaikan DSR ini menunjukkan kenaikan utang meskipun rendah tidak diimbangi dengan penerimaan valas, misalnya yang bersumber dari aktivitas ekspor,” kata Bhima. Kinerja ekspor tahun ini memang terpukul oleh wabah yang menghambat suplai dan menurunkan permintaan secara global.
Risiko berikutnya adalah perlambatan ULN swasta yang menjadi sinyal pelemahan sektor riil. ULN swasta pada akhir April tumbuh melambat menjadi 4,2 persen dari bulan sebelumnya 4,7 persen. “Perusahaan swasta sedang menahan ekspansi sehingga mengerem utang.” Fluktuasi nilai tukar rupiah serta arah suku bunga global juga dinilai patut menjadi perhatian pemerintah.
“Selama ini pemerintah sudah cukup gencar tawarkan utang dengan imbal hasil atau yield tinggi, ini mengakibatkan perebutan dana kian ketat dan membuat beban pembayaran bunga swasta lebih mahal.”