Masuki New Normal, PHRI: Stimulus Pemerintah Belum Cukup
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 2 Juni 2020 11:03 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan stimulus yang disiapkan pemerintah untuk Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN di masa new normal belum cukup membantu pengusaha.
"Terkait kebijakan new normal, stimulus masih rendah dan belum bisa mencukupi untuk membantu kemampuan bertahan sektor riil dan sektor keuangan," ujar Hariyadi, Senin, 1 Juni 2020.
Berdasarkan data yang dipaparkan Hariyadi, total anggaran stimulus PEN yang direncanakan pemerintah per 18 Mei 2020 sebesar Rp 641,17 triliun. Dari jumlah itu, bantuan yang diterima oleh pengusaha hanya Rp 34,15 triliun, yakni untuk subsidi bunga, dan Rp 87,59 triliun untuk penempatan dana pemerintah di perbankan.
Sedangkan dari total batuan ini, porsi insentif yang diberikan kepada sektor pariwisata hanya Rp 3,8 triliun. Ia menyayangkan bantuan untuk perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) justru lebih besar dari sektor riil, yaitu mencapai Rp 135,34 triliun.
Hariyadi pun meminta pemerintah menambah sokongan bantuan untuk pengusaha di bidang pariwisata, khususnya hotel dan restoran, dalam bentuk modal kerja. Modal tersebut akan digunakan untuk membayar kebutuhan operasional seperti listrik, gaji karyawan, serta utilitas kamar dan restoran.
"Kami simulasikan kamar hotel saat ini berjumlah 715.168 kamar, sedangkan restoran 17.862. Untuk biaya di luar bahan baku makanan, kami membutuhkan Rp 21,3 triliun untuk enam bulan," tutur Hariyadi.
Selain modal kerja, stimulus yang tengah diusulkan adalah subsidi suku bunga yang menyesuaikan dengan suku bunga Bank Indonesia serta penurunan tarif listrik dan gas. Dia juga meminta pemerintah memberikan relaksasi pembayaran tunggakan listrik selama tiga bulan setelah jatuh tempo tanpa beban minimal.
"Selanjutnya, kami meminta adanya penangguhan pembayaran PPN selama 90 hari dan percepatan jangka waktu restitusi pajak," kata Hariyadi.