Ekspor Dilarang, Pengusaha Sebut Harga Nikel Kian Terpuruk

Jumat, 28 Februari 2020 17:51 WIB

catatan WWF, Amazon diketahui memiliki potensi tambang yang potensial, meliputi tembaga, timah, nikel, bauksit, mangan, bijih besi, juga emas. Selain menambang sendiri, pemerintah negara-negara di kawasan, terutama Brazil, memberikan insentif pajak untuk proyek skala besar atas nama pembangunan negara. Seiring perkembangan teknologi pertambangan yang makin maju, skala pengerukan sumber daya alam di Amazon juga kian masif.

Tempo.Co, Jakarta - Dua bulan sudah larangan ekspor ore atau bijih nikel berjalan sejak 1 Januari 2020. Hingga kini, komoditas tambang ini ternyata masih bermasalah. Persoalannya yaitu tidak ada kesesuaian harga antara para penambang nikel dan perusahaan smelter yang menyerap hasil bijih nikel.

“Harusnya saat smelter sudah berdiri di sini, kami semakin hidup. Tapi kenapa saat ada smelter di sini, kami semakin terpuruk, rugi,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey dalam diskusi di Kantor Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di Jakarta, Jumat, 28 Februari 2020.

Sebelumnya sejak September 2019, pemerintah resmi mengumumkan percepatan larangan ekspor ore nikel, dari jadwal semua 2022. Bersamaan dengan itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengumumkan bahwa ore nikel yang selama ini diekspor, akan diserap smelter dalam negeri dengan harga maksimal US$ 30 per metrik ton.

Saat itu, para penambang sempat menolak percepatan larangan ini. Pemerintah pun mengumpulkan para penambang dan perusahaan smelter. Salah satunya Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang mengumpulkan keduanya pada 12 November 2019. Saat itu, Bahlil mengumumkan kedua pihak sepakat dengan larangan ini.

Tapi, masalah baru muncul ketika smelter hanya menerima bijih nikel dengan kadar tinggi 1,8 persen. Belum lagi, smelter membeli di bawah harga internasional. Sebagai perbandingan, harga bijih nikel Free on Board (FoB) di Filipina sekitar US$ 60 per metrik ton.. Namun di Indonesia, harganya kerap lebih murah dari US$ 30.

Advertising
Advertising

Masalah lain muncul ketika penambang menjual bijih nikel ke smelter. Surveyor yang dimiliki smelter, kata dia, bisa menilai kadar bijih nikel penambang memiliki kandungan rendah atau 1,7 persen ke bawah. Sehingga, bijih nikel itu ditolak mentah-mentah.

Meidy heran karena sebelum dilarang, para penambang bisa leluasa mengekspor bijih nikel kandungan rendah tersebut ke pembeli di luar negeri. Akibatnya, kini ada 3,8 juta bijih nikel 1,7 persen yang menganggur di dalam negeri. Tak bisa diekspor karena dilarang dan tak bisa diserap smelter karena memiliki kandungan rendah.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Prihadi Santoso menyebut dirinya memang telah berdiskusi beberapa kali dengan Meidy soal harga nikel ini. AP3I merupakan asosiasi yang salah satunya berisi para perusahaan smelter nikel.

Prihadi menyebut pihaknya tetap membuka peluang untuk lahirnya penyesuaian harga baru. Terlebih, kata dari, permintaan nikel di dunia internasional saat ini memang tengah mengalami penurunan. “Kami tadi pagi juga rapat kembali, kami sepakat untuk cari rumusan (harga) yang lebih adil,” kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, Staf Khusus Menteri ESDM Irwandi Arif meminta para penambang nikel pun tidak sekedar berbisnis tambang, tapi berupaya melakukan hilirisasi sendiri atas produk mereka. Meski demikian, ESDM tetap bakal segera menghasilkan keputusan terkait polemik yang terus terjadi ini. “Sebentar lagi ada solusi, ESDM harus lindungi keduanya (penambang nikel dan perusahaan smelter),” kata dia.

Berita terkait

Amnesty International Temukan Pasokan Teknologi Pengawasan dan Spyware Masif ke Indonesia

2 jam lalu

Amnesty International Temukan Pasokan Teknologi Pengawasan dan Spyware Masif ke Indonesia

Amnesty International menyiarkan temuan adanya jaringan ekspor spyware dan pengawasan ke Indonesia.

Baca Selengkapnya

Ekonomi NTB Tumbuh Positif, Ekspor Diprediksi Meningkat

1 hari lalu

Ekonomi NTB Tumbuh Positif, Ekspor Diprediksi Meningkat

Perkembangan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) 2023 tumbuh positif.

Baca Selengkapnya

Penerimaan Bea Cukai Turun 4,5 Persen

1 hari lalu

Penerimaan Bea Cukai Turun 4,5 Persen

Penerimaan Bea Cukai Januari-Maret turun 4,5 persen dibanding tahun lalu.

Baca Selengkapnya

GAPKI Sebut Kinerja Ekspor Sawit Turun, Ini Penyebabnya

1 hari lalu

GAPKI Sebut Kinerja Ekspor Sawit Turun, Ini Penyebabnya

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mengatakan kinerja ekspor sawit mengalami penurunan. Ini penyebabnya.

Baca Selengkapnya

Mendag Zulkifli Hasan Sebut Neraca Perdagangan Indonesia Surplus US$ 4,47 Miliar, Impor Barang Modal Laptop Anjlok

6 hari lalu

Mendag Zulkifli Hasan Sebut Neraca Perdagangan Indonesia Surplus US$ 4,47 Miliar, Impor Barang Modal Laptop Anjlok

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan klaim neraca perdaganga Indonesia alami surplus, ada beberapa komoditas yang surplus dan ada beberapa yang defisit.

Baca Selengkapnya

Eks Relawan Jokowi Windu Aji Sutanto Divonis 8 Tahun dalam Perkara Tambang Nikel Ilegal Konawe Utara

6 hari lalu

Eks Relawan Jokowi Windu Aji Sutanto Divonis 8 Tahun dalam Perkara Tambang Nikel Ilegal Konawe Utara

Windu Aji Sutanto terbukti korupsi dalam kerja sama operasional (KSO) antara PT Antam dan PT Lawu Agung Mining 2021-2023 di pertambangan nikel

Baca Selengkapnya

LPEI dan Diaspora Indonesia Buka Akses Pasar UKM Indonesia ke Kanada

9 hari lalu

LPEI dan Diaspora Indonesia Buka Akses Pasar UKM Indonesia ke Kanada

Kolaborasi LPIE dengan institusi pemerintahan membawa mitra binaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) LPEI untuk pertama kalinya menembus pasar ekspor ke Kanada.

Baca Selengkapnya

Ekspor Maret 2024 Naik 16,4 Persen tapi Tetap Anjlok Dibanding Tahun Lalu

10 hari lalu

Ekspor Maret 2024 Naik 16,4 Persen tapi Tetap Anjlok Dibanding Tahun Lalu

BPS mencatat nilai ekspor Indonesia pada Maret 2024 naik 16,40 persen dibanding Februari 2024. Namun anjlok 4 persen dibanding Maret 2023.

Baca Selengkapnya

BPS: Impor Beras pada Maret 2024 Melonjak 29 Persen

10 hari lalu

BPS: Impor Beras pada Maret 2024 Melonjak 29 Persen

Badan Pusat Statistik atau BPS mengungkapkan terjadi lonjakan impor serealia pada Maret 2024. BPS mencatat impor beras naik 2,29 persen. Sedangkan impor gandum naik 24,54 persen.

Baca Selengkapnya

BPS Sebut Iran dan Israel Bukan Mitra Utama Dagang RI: Dampak Konflik Tak Signifikan

10 hari lalu

BPS Sebut Iran dan Israel Bukan Mitra Utama Dagang RI: Dampak Konflik Tak Signifikan

BPS menilai dampak konflik geopolitik antara Iran dan Israel tak berdampak signifikan terhadap perdangan Indonesia. Begini penjelasan lengkapnya.

Baca Selengkapnya