Sentimen Utang Dinilai Membuat Saham BUMN Karya Turun
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 26 Februari 2020 11:39 WIB
TEMPO.CO, Jakarta- Saham emiten BUMN konstruksi ternama menunjukkan kinerja yang kurang menggembirakan beberapa sepekan terakhir. Kepala Riset Praus Capital, Alfred Nainggolan berujar kondisi tersebut menggambarkan persepsi pasar yang cenderung pesimistis terhadap prospek keuangan perseroan, khususnya PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT), PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA), dan PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk (PTPP).
Alfred menuturkan investor mulai khawatir akan beban utang empat perusahaan konstruksi pelat merah yang melonjak lebih dari 100 persen dalam kurun waktu lima tahun terakhir. “Proyek untuk BUMN karya memang bisa dipastikan akan terus mengalir deras khususnya yang berasal dari pembangunan infrastruktur pemerintah, namun ketika implikasinya justru membuat mereka berisiko, malah membuat harga saham turun,” ujarnya kepada Tempo, Selasa 25 Februari 2020.
Tumpukan utang terbesar ditanggung oleh WSKT, dengan total liabilitas sebesar Rp 108,01 triliun pada kuartal III 2019. WIKA menyusul dengan total liabilitas sebesar Rp 44,32 triliun. Sedangkan, penurunan saham paling tajam dalam sebulan terakhir dialami oleh ADHI, yaitu -21,24 persen.
Menurut Alfred, lampu kuning beban utang ini harus segera diselesaikan untuk kembali mendapatkan kepercayaan investor. “Eksplorasi sumber pendanaan untuk infrastruktur memang terbatas, namun sumber pendanan dari utang ini juga ada batasnya. Pemerintah sebagai pemberi tugas harusnya memahami itu, kalau memang tugasnya besar ya kasih mereka modal besar juga,” katanya.
Dia menambahkan kekhawatiran investor tak bisa dikesampingkan, meski pemerintah bertindak sebagai pemegang saham pengendali keempat perusahaan itu. “Pemerintah harusnya sadar kalau mau memberikan penugasan besar dan berisiko ya dilakukan pada perusahaan yang dimiliki 100 persen oleh pemerintah, atau BUMN karya yang bukan emiten,” ucap Alfred. “Ketika rugi ya ditanggung pemerintah, tapi kalau seperti sekarang kan ini masuk juga menjadi milik publik, sehingga ini ada etika yang dilakukan pemerintah.”
<!--more-->
Senior Vice President Research PT Kanaka Hita Solvera, Janson Nasrial berujar tingkat utang BUMN karya sangat tinggi jika dibandingkan dengan BUMN di sektor lainnya. Hal itu ditunjukkan oleh rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio) maupun rasio utang terhadap EBITDA (debt to EBITDA ratio). “Operating cashflow selalu negatif setiap tahun karena memang model bisnisnya mereka harus mengeluarkan belanja modal (capital expenditure) untuk memulai konstruksi, sementara dibayarnya tahun depan atau menunggu anggaran dari pemerintah turun,” kata Janson.
Janson mengungkapkan terdapat sejumlah cara yang dapat ditempuh untuk mengurangi tekanan arus kas perseroan, yaitu melakukan divestasi aset, hingga melakukan skema joint venture dengan swasta lokal maupun asing untuk proyek-proyek yang bersifat strategis. “Kalau dibandingkan emiten yang masih menjadi favorit saat ini WIKA dan PTPP, ini berdasarkan balance sheet serta kemampuan mereka mencari proyek baru,” kata dia.
Analis PT OSO Securities, Sukarno Alatas menambahkan meski memiliki banyak catatan terkait beban utang tinggi, saham emiten BUMN konstruksi secara umum tetap menarik untuk dikoleksi. “Sekarang sudah bisa dilakukan trading buy, investor bisa menggunakan momentum teknikal untuk kembali masuk di emiten ini,” ucapnya. “Terlebih ada sentimen positif lainnya untuk masalah utang ini, yaitu tren penurunan suku bunga.”