DPR Ingin Legalisasi Ojek Online Selesai Tahun Ini
Reporter
Yohanes Paskalis
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 22 Januari 2020 05:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berupaya melegalkan sepeda motor sebagai angkutan umum (ojek online), melalui Revisi Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Ketua Komisi V DPR, Lasarus, meyakini pembahasan bisa diselesaikan tahun ini karena hanya berupa penambahan poin.
"Bisa selesai 2020. Revisi kan terbatas, dan fokus kami hanya memastikan angkutan daring diatur UU," ucapnya di kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa 21 Januari 2020.
Rencana amandemen dipicu persoalan operasional angkutan roda dua berbasis aplikasi atau ojek online dalam jaringan yang berlarut-larut. Kemarin siang pun, Dewan berdiskusi dengan sejumlah perhimpunan pengemudi ojek daring yang dianggotai ribuan anggota, seperti Perhimpunan Pengemudi Transportasi dan Jasa Daring Indonesia (PPTJDI) dan Gabungan Aksi Roda Dua (Garda).
Menurut Lasarus, aturan tertinggi untuk angkutan umum itu bisa diubah untuk menyelesaikan sejumlah persoalan ojek online, mulai dari tarif, kemitraan, hingga kewajiban perusahaan aplikasi terhadap mitra pengemudi. Apalagi, moda aplikasi itu berjalan hampir 10 tahun tanpa status transportasi umum. "Pasal yang akan dibahas masih dinamis tergantung perkembangan," kata Lasarus.
Revisi beleid itu bahkan diusulkan ke program legislasi nasional (Prolegnas) 2020, bersama 50 RUU prioritas lainnya. Sempat dibahas di level panitia kerja, RUU Angkutan Jalan itu disetor kepada Badan Legislasi DPR pada akhir 2019, sebelum disimpan Badan Musyawarah DPR sambil menunggu ketok palu di rapat paripurna dalam waktu dekat.
Semester pertama 2020 akan dimanfaatkan komisi untuk mengkaji dampak dan urgensi legalisasi motor, serta menerima masukan dari regulator, perwakilan konsumen, serta penyedia aplikasi, dalam hal ini GoJek dan Grab Indonesia.
Ketua PPTJDI, Igun Wicaksono, mengatakan forumnya akan menyumbang kajian legaligasi tersebut. "Sejak dua tahun lalu kami merintis data dari berbagai daerah soal kesulitan tanpa legalitas."
Ketua Umum Gabungan Admin Shelter Pengemudi Ojek Online Lampung, Miftahul Huda, mengatakan regulasi yang diterbitkan Kementerian Perhubungan pada pertengahan 2019 juga tak efektif. Hal itu membuat pengemudi mencari payung hukum yang lebih tinggi.
"Tak ada mekanisme sanksi, jadi aturan soal kemitraan dan tarif dilanggar terus," katanya di Gedung DPR.
<!--more-->
Lewat pendekatan diskresi, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 348 Tahun 2019 dibuat sebagai pedoman harga dan keselamatan layanan roda dua tersebut. Berawal dari lima kota, beleid itu akhirnya diberlakukan penuh di 221 wilayah operasi GoJek dan 224 wilayah Grab.
Direktur Angkutan Jalan dan Multimoda Kementerian Perhubungan, Ahmad Yani, mengatakan sanksi untuk penyedia aplikasi bisa diberikan lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika, hanya berbekal surat rekomendasi dan bukti pelanggaran. "Tapi saat kami meminta data bukti dari driver, malah tidak ada," ucapnya kepada Tempo. "Tak bisa sembarangan nuduh."
Pelaksana Tugas Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kemenkominfo, Ferdinandus Setu, memastikan rekomendasi sanksi, ringan maupun berat, bisa diterapkan cepat. Meski tak mengatur langsung perusahaan aplikasi ojek daring, kata dia, Kementerian Perhubungan memiliki hak sebagai pengawas sektor bisnis tersebut. "Pasti kami ikut. Tapi sejauh ini belum banyak laporan," katanya.
FRANSISCA CHRISTY ROSANA | EKO WAHYUDI | YOHANES PASKALIS PAE DALE