Antisipasi Resesi, Indef: Diversifikasi Ekspor Kian Mendesak
Reporter
Antara
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Senin, 7 Oktober 2019 12:51 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mendorong pemerintah melakukan diversifikasi produk dan negara tujuan ekspor untuk mengantisipasi resesi ekonomi. "Resesi akan terjadi besar kemungkinan di dua negara yang terlibat perang dagang," katanya di Jakarta, Senin, 7 Oktober 2019.
Kedua negara yang mungkin mengalami resesi itu adalah Amerika Serikat dan Cina yang merupakan mitra dagang besar Indonesia. Oleh karena itu, komoditas perkebunan dan tambang dari Indonesia perlu diekspor ke negara-negara nontradisional seperti Afrika dan Amerika Latin.
Sementara itu, produk yang diekspor perlu mulai beralih ke komoditas non-Sumber Daya Alam (SDA). Kalaupun masih mengandalkan SDA, investasi di industri pengolahan atau hilirisasi perlu ditingkatkan.
Andry menjelaskan, Cina banyak mengimpor komoditas perkebunan dan tambang yang merupakan komoditas ekspor utama Indonesia. "Indonesia akan mengalami perlambatan perekonomian juga akibat adanya ini (resesi)," katanya. Berbeda dengan Cina, Amerika Serikat kebanyakan mengimpor kebanyakan produk tekstil Indonesia.
Untuk itu, Andry mengingatkan Indonesia perlu berbenah dengan industri tekstilnya jika ingin mengambil momentum, karena di saat yang bersamaan tekstil dari Cina akan dikenakan bea impor tinggi oleh Amerika Serikat. "Tentu itu semua harus didukung dengan kondisi makro ekonomi perlu dijaga agar tetap stabil."
Lebih jauh Andry menjelaskan, diversifikasi produk dan negara tujuan ekspor perlu ditingkatkan karena resesi diperkirakan berasal dari sektor riil yang mempengaruhi perdagangan. Tapi Indonesia dinilai tidak perlu khawatir karena kontribusi sektor perdagangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia termasuk rendah di Asia Tenggara. "Mungkin ini di satu sisi sangat buruk, tapi juga menyelamatkan kita dari beberapa krisis, salah satunya krisis 2008," katanya.
<!--more-->
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia Januari-Agustus 2019 secara kumulatif mencapai US$ 110,07 miliar atau menurun 8,28 persen dibanding periode yang sama tahun 2018. Dari angka itu, nilai ekspor nonmigas paling besar mencapai US$ 101.480 miliar.
Selama Januari-Agustus 2019, Cina menjadi negara tujuan utama ekspor RI dengan nilai mencapai US$ 15.947,9 juta atau 15,71 persen. Posisi kedua diikuti Amerika Serikat dengan nilai US$ 11.513,5 juta atau 11,35 persen dan Jepang dengan US$ 9.091,5 juta (8,96 persen). Adapun komoditas utama yang diekspor ke Cina pada periode tersebut adalah batubara, lignit, dan minyak kelapa sawit
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sebelumnya mengatakan ada tiga kebijakan yang dibutuhkan agar Indonesia bisa terhindar dari ancaman resesi yang diprediksi oleh Bank Dunia. Ketiganya yaitu meningkatkan ekspor, mengendalikan impor, dan menggenjot investasi.
“Indonesia akan survive (bertahan) kalau ekspor dan investasi ada, lalu 265 juta masyarakat Indonesia tidak jadi pasar semata dan dibanjiri produk luar,” kata Enggar saat menghadiri acara peluncuran program “From Local Go Global” di Mall Sarinah, Jakarta Pusat, Ahad, 6 Oktober 2019.
Untuk menggenjot investasi, Enggar dan sejumlah menteri telah berkomitmen memangkas sejumlah perizinan yang dianggap menghambat masuknya arus modal. Sementara untuk meningkatkan ekspor, salah satu upaya dilakukan lewat program “From Local Go Global” ini.
ANTARA