Pengembang PLTA Batang Toru Klaim Tak Abaikan Habitat Orangutan
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Senin, 23 September 2019 08:28 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air atau PLTA Batang Toru, PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), mengklaim tak pernah mengabaikan keberadaan orangutan di sekitar lokasi pembangunan proyek. Perusahaan justru mengaku berkomitmen melindungi keberadaan satwa dengan menyiapkan sejumlah mitigasi.
“Di PLTA ini kami punya program mitigasi (satwa) selain menggunakan amdal sebagai dasar (pembangunan),”ujar Senior Adviser on Environment and Sustainability PT NSHE Agus Djoko Ismanto saat ditemui di Sudirman, Jakarta Pusat, Ahad, 22 September 2019.
Agus berdalih, perusahaan telah melakukan sejumlah upaya untuk memproteksi orangutan dari dampak negatif pembangunan. Di antaranya membentuk tim monitoring. Tim akan memantau kepatuhan masyarakat terhadap perburuan orang utan.
Penguatan pengawasan pun dilakukan dengan sistem Smart Patrol. Smart Patrol nantinya bakal memiliki call center. Ke depan, petugas maupun relawan dapat melaporkan secara kejadian terkait ornag utan dalam bentuk foto atau video.
PLTA Batang Toru juga merekrut ahli orangutan. Pihak yang disebut sang ahli bakal melakukan pengkayaan tanaman pakan di areal koridor. “Selanjutnya perusahaan akan mendukung upaya penanganan konflik satwa di luar areal PLTA, antara lain dengan mendukung rehabilitasi kebun yang terganggu oleh satwa,” tuturnya.
Guna mempermudah lalu-lintas satwa, perusahaan berjanji bakal membangun jembatan untuk menghubungkan habitat yang terpisah. Ihwal budaya masyarakat, PLTA Batng Toru akan memberikan edukasi kepada masyarakat soal penanganan terhadap orang utan bila sewaktu-waktu turun ke ladang.
“PLTA Batang Toru juga siap bekerja sama dengan pihak-pihak lain untuk menyelamatkan orangutan sebagaimana telah disepakati dalam komitmen kerja sama pelestarian ekosistem,” ujarnya.
Communication and External Relations Director NSHE Firman Taufick mengklaim, selain menjamin habitat orangutan, pembangunan PLTA dinilai ramah lingkungan. Ia menyatakan keberadaan PLTA Batang Toru penting untuk menjaga kelestarian bumi dari ancaman perubahan iklim. “Proyek ini merupakan bagian dari upaya nasional dalam mengurangi pemanasan global melalui pengurangan emisi karbon,” tuturnya.
<!--more-->
Proyek PLTA dikerjakan merujuk pada Perjanjian Paris yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016. PLTA Batang Toru digadang-gadang dapat berperan mengurangi emisi karbon sebesar 1,6-2,2 MTON per tahun.
Sebelumnya Majalah Tempo edisi 16 Maret 2019 menulis bahwa para ilmuwan yang meneliti Batang Toru cemas keberadaan pembangkit listrik membuat ekosistem oangutan tergeser. Konservasionis asal Belanda, Serge A. Wich, mengatakan jumlah orangutan makin berkurang sejak ada aktivitas manusia.
Tim peneliti dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan orangutan di Tapanuli yang berada di blok sisi tengah membuat sarang lebih tinggi ketimbang orangutan di blok barat dan timur. Orangutan membuat sarang 15 meter di sisi atas dan bergelantungan di dahan 30 meter. Ketinggian ini diduga menghindarkan orangutan dari bahaya yang mengancam.
Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) juga mengkhawatirkan orangutan terancam punah akibat dampak pembangunan bendungan PLTA Batangtoru, Tapanuli Selatan, yang bernilai Rp21 triliun. Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) mengkhawatirkan orangutan terancam punah akibat dampak pembangunan bendungan PLTA Batangtoru, Tapanuli Selatan, yang bernilai Rp21 triliun.
Manager Harian Program Batang Toru Yayasan Ekosistem Lestari, Burhanuddin, melalui keterangan persnya yang diterima Rabu, 1 Mei 2019, menyebutkan bangunan PLTA Batang Toru yang dikerjakan PT North Sumatera Hydro Energi (NSHE) dapat mengancam ekosistem Batangtoru yang memiliki berbagai ragam hayati baik flora dan fauna.
Pembangunan PLTA Batangtoru dinilai dapat mengakibatkan koridor atau perlintasan spesies langka orang utan dari blok Barat ke blok Timur dan blok Selatan terputus.
Terputusnya koridor tersebut juga dikhawatirkan dapat mengancam populasi dan perkembangbiakan orangutan yang diperkirakan jumlahnya sekitar 800 ini.
Ancaman lain dari PLTA Batangtoru, juga terkait gempa dan rusaknya ekosistem Batangtoru yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna langka seperti raflesia, hutan, harimau Sumatera, tapir, rangkong bertanduk, dan lainnya.
"Bendungan PLTA berada dekat dengan daerah patahan tektonik dan apabila gempa dikhawatirkan kawasan sekitar terancam banjir yang berakibat fatal bagi kehidupan baik manusia maupun satwa liar di daerah tersebut," kata Burhanuddin.