Sri Mulyani Suntik Rp 17,7 T untuk BUMN, Ekonom Beri Peringatan
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Sabtu, 24 Agustus 2019 06:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance atau Indef, Mohamad Fadhil Hasan menilai berbagai proyek besar dari pemerintah telah menyebabkan sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami kesulitan keuangan. “Yang bikin kas jebol kan proyek infrastruktur itu,” kata Fadhil saat ditemui dalam diskusi publik bersama Indef di ITS Tower, Jakarta Selatan, Jumat, 23 Agustus 2019.
Untuk itu, Fadhil tak yakin duit Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 17,73 triliun yang disiapkan pemerintah dalam RUU APBN 2020 hanya diarahkan untuk mendorong kegiatan ekonomi, bukan terkait dengan cash flow atau arus kas. “Itu kan argumen saja, akhirnya kita gak tahu juga dipakai untuk apa,” kata dia.
Fadhil mencontohkan BUMN PT Adhi Karya (Persero) Tbk yang ditugaskan oleh pemerintah menggarap proyek Light Rail Transit (LRT) Jabodebek. Pada 2016, pemerintah menyuntikkan dana PMN sebesar Rp 1,5 triliun untuk menggarap proyek ini. Tiga tahun kemudian, proyek ini juga yang menyebabkan kas Adhi Karya minus hingga Rp 2,5 triliun. “Padahal, BUMN kan juga harus profitable,” kata dia.
Untuk itu, Fadhi menilai pemerintah harus lebih dulu melakukan evaluasi atas penggelontoran PMN selama ini. Barangkali secara kas, pemerintah memang masih memiliki kecukupan fiskal untuk menyalurkan PMN. Akan tetapi, kata dia, harus dilihat juga sisi multiplier effect dari proyek yang digarap tersebut. Beban pembangunan proyek ini pun, menurut dia, bisa dibagi dengan pihak swasta, terutama untuk proyek yang komersil.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani suntikan dana itu sama sekali tidak berkaitan dengan kesulitan keuangan atau keperluan untuk menutup kewajiban utang perusahaan. “Semua diarahkan untuk mendorong kegiatan ekonomi, tidak terkait dengan cash flow,” kata Askolani, Rabu, 21 Agustus 2019.
Total, kementerian yang dipimpin Sri Mulyani Indrawati ini akan menyuntikkan dana untuk delapan BUMN. Di antaranya PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN untuk melanjutkan megaproyek listrik 35 ribu Megawatt, dan PT Hutama Karya untuk melanjutkan proyek jalan tol di Sumatera.
Namun belakangan, lembaga Standard & Poor’s (S&P) Global menyebut utang 20 perusahaan pelat merah melonjak drastis. Rasio utang terhadap laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (debt-to-EBITDA ratio) pada 20 BUMN naik dari 1 kali pada 2011 menjadi 4,5 kali pada 2017.
Tak hanya S&P, firma konsultan global, McKinsey & Co beberapa hari lalu juga merilis laporan berjudul “Signs of Stress in The Asian Financial System”. Lewat laporan tersebut, McKinsey memperingatkan negara-negara Asia Pasifik agar mewaspadai terulangnya krisis keuangan dan krisis utang Asia pada 1997. McKinsey telah memeriksa neraca dari dari 23 ribu perusahaan di sebelas negara Asia Pasifik. Mereka kemudian menemukan sebagian besar perusahaan ini mengalami “tekanan signifikan” dalam membayar utang mereka sendiri.
Selain itu, McKinsey juga melihat utang jangka panjang di perusahan-perusahaan ini memiliki interest coverage ratio (ICR) atau rasio utang yang kurang dari 1,5 kali. Dalam kondisi ini, perusahaan pun harus menggunakan sebagian besar dari pendapatan mereka untuk membayar utang. Temuan ini muncul pada tahun 2017 di Cina, India, dan Indonesia, dimana lebih dari 25 persen utang jangka panjang perusahaan memiliki ICR kurang dari 1,5.
Sementara itu, Mantan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup era Presiden Soeharto, Emil Salim meminta pemerintah hati-hati membebankan seluruh pengerjaan proyek infrastruktur kepada BUMN. Sebab, rasio utang terhadap ekuitas (debt-to-equity ratio) di beberapa BUMN pada 2016 sudah melebihi rata-rata batas aman di negara emerging markets.
Di BUMN sektor konstruksi, batas aman rasio utang terhadap ekuitas yaitu sebesar 0,96. Namun, rasio empat BUMN konstruksi telah melebihi batas ini. Rinciannya yaitu PT Adhi Karya 2,69, PT Jasa Marga 2,27, PT Waskita Karya 2,66, PT Wijaya Karya 1,49, dan PT Hutama Karya 2,18.
Kondisi serupa terjadi pada BUMN bidang transportasi. Menurut Emil, batas aman rasionya adalah 0,6. Sementara itu, rasio di empat BUMN sektor ini berturut-turut yaitu PT Pelindo I 0,7, PT Pelindo II 2,65, PT Pelindo III 1,3, dan PT Angkasa Pura I 0,97. Untuk itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini ingin pemerintah mewaspadai kondisi tersebut. “Saya ingin pak presiden, please, perhatikan,” kata dia.