Kritik Pemindahan Ibu Kota, Ekonom Minta Pemerintah Lakukan Ini
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 13 Agustus 2019 14:06 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah gejolak ketidakpastian ekonomi global, pemerintah disarankan untuk menunda pemindahan ibu kota. Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail Zaini mengatakan, pemerintah seharusnya bisa menggenjot konsumsi dalam negeri, salah satu caranya dengan memperbesar belanja sosial.
Porsi belanja sosial dalam APBN, menurut Ahmad, harus dinaikkan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Jika target penerimaan pajak tidak tercapai, konsekuesinya belanja modal dan barang akan terpotong sehingga memperlambat investasi.
"Uang dari penundaan membangun fasilitas ibu kota baru bisa digunakan untuk mempercepat pengurangan kemiskinan dengan meningkatkan produktivitas sektor pertanian serta industri," kata Ahmad, Senin, 12 Agustus 2019.
Meski resisten terhadap dampak pelemahan ekonomi akibat perang dagang, menurut Ahmad, perekonomian Indonesia tetap perlu mewaspadai tren shortfall penerimaan pajak. Dia sepakat dengan riset Morgan Stanley mengenai pertumbuhan PDB Indonesia 2019/2020 berada pada angka masing-masing 5 persen.
Jika dibandingkan dengan ekonomi negara-negara Asia selain Jepang lainnya, Ahmad menilai Indonesia, beserta India dan Filipina, merupakan negara-negara yang cenderung kurang terkena dampak ketegangan perdagangan mengingat basis permintaan domestik yang bersifat endogen. "Ekonomi Indonesia relatif kuat menghadapi gejolak eksternal karena total ekspor plus impor Indonesia tidak lebih dari 40 persen terhadap PDB."
Ahmad menyebut konsumsi domestik bisa menjadi buffer ketika ada gejolak eksternal. Adapun risiko dari gejolak eksternal adalah tidak tercapainya target pertumbuhan pajak pemerintah yang sebesar 15 persen tahun ini. "Saya prediksi dalam jangka menengah pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sedikit di bawah 5 persen jika pertumbuhan investasi rendah akibat perang dagang," ucapnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas Bambang Brodjonegoro sebelumnya menyebutkan skema pendanaan pemindahan ibu kota yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan dilakukan melalui kerja sama pengelolaan aset.
<!--more-->
"Kita akan mengupayakan agar kerja sama pengelolaan aset di Jakarta bisa dipakai untuk membangun ibu kota baru," kata Bambang di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa, 6 Agustus 2019.
Bambang mengatakan, aset-aset yang ditinggalkan pemerintah di Jakarta bisa menjadi sumber penerimaan berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan kerja sama pemanfaatan aset.
Dari pemetaan yang dilakukan terhadap aset pemerintah di Jalan Medan Merdeka, Kuningan, Sudirman, dan Thamrin, didapat nilai valuasi sebesar Rp 150 triliun. Nilai tersebut bisa menambal kebutuhan pemindahan ibu kota yang bersumber dari APBN, yang diperkirakan mencapai Rp 93 triliun.
"Artinya kalau kita bisa mendapatkan pemasukan 150, artinya kita bisa menutupi seluruh kebutuhan pengeluaran yang memang harus dari APBN. Ya bangun istana, pangkalan TNI, semua harus APBN demikian juga kebutuhan rumah dinas," kata Bambang Brodjonegoro.
Model kerja sama pengelolaan aset itu bisa sewa, kerja sama langsung atau joint venture. Bisa juga dijual jika paling menguntungkan atau dijual dengan kompensasi harus membangun fasilitas di ibu kota baru.
Selain APBN, skema pendanaan pemindahan ibu kota juga akan melalui kerja sama pemerintah badan usaha (KPBU), juga partisipasi swasta dan BUMN. Adapun perkiraan biaya pemindahan ibu kota ke Kalimantan mencapai hampir Rp 500 triliun.
BISNIS | FRISKI RIANA