KPK Sebut OTT Berulang di Sektor Impor Pangan, Respons Mendag?
Reporter
Antara
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Senin, 12 Agustus 2019 14:53 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita angkat bicara menanggapi operasi tangkap tangan atau OTT KPK yang berulang kali terjadi di sektor impor pangan. Enggartiasto berkukuh pihaknya telah melaksanakan tahapan importasi dengan transparan dan menggunakan prinsip tata kelola yang baik (good governance).
Enggartiasto mengaku telah mengingatkan pengusaha untuk berhati-hati terhadap pihak yang mencatut nama pejabat. "Semua proses dilakukan dengan transparan, bisa diakses publik di website Kemendag. Jadi, buat apa suap-suap seperti kasus yang kini ditangani KPK," katanya seperti dikutip dari rilis di Jakarta, Senin, 12 Agustus 2019.
Ia juga berpesan kepada para pengusaha agar berhati-hati terhadap pihak-pihak yang menjual nama pejabat untuk mengurus proses impor. "Kepada pengusaha-pengusaha, saya tegas nyatakan agar berhati-hati terhadap mereka-mereka yang jual nama pejabat untuk urus impor dan lainnya," kata Enggartiasto. Beragam sanksi seperti blacklist atau daftar hitam hingga proses hukum juga sudah dikenakan terhadap mereka yang "nakal".
Untuk itu, Enggartiasto juga mengingatkan para pengusaha berhati-hati dan tak meladeni pihak yang mengaku-aku bisa mengurus kuota impor, bahkan melakukan locked quota dengan membawa-bawa nama pejabat negara. "Kepada mereka yang jualan nama penyelenggara negara, agar jangan lagi melakukan. Karena aparat hukum, dan KPK pastinya juga melihat semua yang dilakukan berbuat jahat," ucapnya.
Selain itu, ujar dia, pihaknya juga telah memerintahkan jajarannya untuk mengecek importir yang terjaring KPK, apakah pernah berurusan dengan importasi. Dan dari penelusuran, diduga ada kerabat dari yang bersangkutan melakukan importasi nakal bahkan sudah ada putusan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan itu.
"Saya tegaskan Kemendag tidak mengakomodasi pengusaha ini, yang disinyalir kerabatnya pernah kena sanksi hukum sebagai penegasan asas GCG (good corporate governance)," ujar Enggartiasto.
<!--more-->
Hal itu disampaikan Enggartiasto menanggapi tudingan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif soal OTT di sektor impor pangan karena Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian tidak punya kebijakan yang sinkron di bidang pangan. "Seperti kemarin saat ada impor beras Kementerian Pertanian mengatakan beras banyak tapi masih saja di impor, akhirnya Kepala Bulog mengeluh, mau ditaruh di mana impor ini karena gudangnya sudah penuh?" kata Laode di gedung Lemhanas Jakarta, Jumat pekan lalu.
Laode menyampaikan hal tersebut seusai KPK menetapkan anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDIP I Nyoman Dhamantra (INY) bersama lima orang lainnya yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pengurusan izin impor bawang putih Tahun 2019.
I Nyoman diduga menerima "fee" sebesar Rp2 miliar dari pemilik PT Cahaya Sakti Agro (CSA) Chandry Suanda alias Afung agar Afung mendapat kuota impor bawang putih. "Fee" yang disepakati oleh I Nyoman adalah Rp 1.700 sampai Rp 1.800 dari setiap kilogram bawang putih yang diimpor atau Rp 3,6 miliar untuk 20 ribu ton bawang putih.
Namun untuk memenuhi "fee" tersebut, Afung meminjam dari Zulfikar namun baru terealisasi Rp2,1 miliar dan ditransfer ke rekening rekan Afung yaitu Doddy Wahyudi lalu ditransfer ke rekening Nyoman sebesar Rp2 miliar.
Terkait hal ini, Enggartiasto kembali menjelaskan proses impor bawang putih dimulai dengan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian. Dalam RPIH itu juga ada poin wajib tanam lima persen dari kuota impor. Setelah itu dipenuhi dan ada verifikasi, baru ke Kementerian Perdagangan.
Enggartiasto menyebutkan kebutuhan bawang putih per tahun sebenarnya sekitar 490 ribu ton. Pada 2018 terbit RPIH total 938 ribu ton. Dari jumlah itu dikeluarkan surat persetujuan impor bawang putih dari Kementerian Perdagangan sebesar 600 ribu ton. "Mengapa lebih? Untuk cadangan awal tahun 2019," katanya.
ANTARA