Defisit Perdagangan, Sri Mulyani: Ekspor Kontraksi Lebih Dalam
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 15 Mei 2019 17:15 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan defisit neraca perdagangan yang terjadi sepanjang April 2019 disebabkan kinerja ekspor yang mengalami kontraksi atau pelemahan. "Walaupun impornya kontraksi, tapi ekspornya kostraksi lebih dalam lagi," kata Sri saat ditemui usai memberi kuliah umum di Gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta Pusat, Rabu, 15 Mei 2019.
Baca: Catat, THR PNS dan Pensiunan Paling Cepat Cair 20 Mei 2019
Pernyataan Sri Mulyani menanggapi pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) soal nilai neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 mengalami defisit sebesar US$ 2,5 miliar. Defisit disebabkan oleh defisit sektor migas dan non-migas masing-masing sebesar US$ 1,49 miliar dan US$ 1,01 miliar.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan pada April 2019, ekspor mencapai US$ 12,6 miliar, turun 10,8 persen dibandingkan Maret 2019 yang senilai US$ 14,12 miliar. Sementara itu, impor April 2019 yang tercatat US$ 15,10 miliar, naik dari Maret 2019 sebesar 12,25 persen senilai US$ 13,45 miliar.
Dari sisi impor, kenaikan terbesar dialami impor migas yaitu sebesar 46,99 persen. Tapi Sri Mulyani mengatakan, volume impor migas tidak bisa turun serta merta, tapi tetap mempertahankan pertumbuhan di atas 5 persen. "Enggak mungkin permintaan terhadap energi itu turun, jadi pasti akan meningkat."
Kendati demikian, Sri Mulyani mengatakan, kondisi ini menggambarkan ekonomi dunia mengalami situasi yang tidak mudah. Dalam situasi ini, ia menilai Indonesia menjaga sisi pertumbuhan dari sektor manufaktur untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi 5 persen.
Baca: Jokowi Jengkel Perizinan Ruwet, Sri Mulyani Merespons Begini
Dalam waktu dekat ini Sri Mulyani berencana mengecek lagi faktor-faktor apa lagi yang menyebabkan defisit April 2019 semakin dalam. "Jika memang ini defisit dengan situasi yang gonjang-ganjing, maka ini akan menimbulkan risiko yang lebih tinggi bagi ekonomi kita," ujarnya.