Alasan Kepala BPN Belum Mau Ungkap Lokasi Ibu Kota Baru RI
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Kodrat Setiawan
Sabtu, 4 Mei 2019 05:29 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pertanahan Negara Sofyan Djalil belum mau membuka letak lokasi potensial ibu kota baru Indonesia. Pasalnya, ia tak mau ada spekulan yang membeli tanah di sana.
Baca juga: Pilih Ibu Kota di Luar Jawa, JK: Ada 10 Syarat Harus Dipenuhi
Namun, ia memastikan pembangunan itu akan dilakukan di atas tanah milik negara. "Melihat pengalaman dulu, ketika diumumkan tempat, orang-orang langsung beli tanah, sekarang kalau tanah negara, enggak ada orang bisa serbu," ujar Sofyan dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Jumat, 3 Mei 2019.
Hingga saat ini, ada sejumlah lokasi yang berpotensi menjadi ibu kota baru Indonesia. Termasuk, kawasan yang disebut minim risiko bencana, seperti Sumatera bagian timur, Kalimantan, dan Sulawesi bagian selatan.
"Saya tidak bisa konfirmasi. Sebenarnya pemerintah tahu, tapi kami sepakat yang penting jangan sebut lokasi, sebut saja alternatif," kata Sofyan. Ia menyebut lokasi itu akan dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat setidaknya pada akhir tahun.
Selain minim risiko bencana, tanah lokasi ibu kota baru itu diupayakan adalah milik negara. Sehingga, biaya untuk urusan tanah bisa ditekan seminimal mungkin.
Ihwal aksi spekulan tanah, kata Sofyan, pernah terjadi dalam proyek-proyek pemerintah sebelumnya. Misalnya saja saat dulu pemerintah berwacana memindahkan ibu kota ke Jonggol, Jawa Barat.
"Pada zaman Pak Harto (Presiden Soeharto) juga pernah. Bahkan banyak orang spekulasi beli tanah di Jonggol," ujar Sofyan.
Begitu pula saat akan ada pembangunan pelabuhan di Cilamaya, Jawa Barat, yang kemudian tidak jadi. "Akhirnya batal kan, banyak orang nangis darah karena spekulasi beli tanah tapi enggak jadi. Makanya jangan begitu, rugi anda."
Wacana pemindahan ibu kota kembali menghangat setelah Presiden Joko Widodo menggelar Rapat Terbatas Kabinet guna membicarakan isu tersebut. Berdasarkan rapat itu, Jokowi telah memberi arahan untuk mengambil alternatif pemindahan ibu kota ke luar Jawa. Di samping itu, wilayah tersebut harus berada di tengah Indonesia untuk memudahkan akses dari seluruh provinsi, serta harus dapat mendorong pemerataan antara wilayah barat dan timur Indonesia.
Adapun pemindahan ibu kota dinilai perlu lantaran enam alasan utama. Pertama, untuk mengurangi beban Jakarta dan kota penyangganya. Kedua, mendotong pemerataan ke wilayah Indonesia bagian Timur. Ketiga, mengubah pola pikir pembangunan dari Jawa sentris menjadi Indonesia sentris.
Alasan keempat adalah untuk memiliki ibu kota negara yang merepresentasikan identitas bangsa, kebinekaan dan penghayatan terhadap Pancasila. Kelima, meningkatkan pengelolaan pemerintahan pusat yang efisien dan efektif. Dan keenam, memiliki Ibukota yang menerapkan konsep smart, green, and beautiful city untuk meningkatkan kemampuan daya saing secara regional maupun internasional.