Dikritik Prabowo Soal Ketimpangan, Apa Jawaban Sri Mulyani?
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Dewi Rina Cahyani
Selasa, 22 Januari 2019 17:46 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai nilai koefisien gini alias angka ketimpangan Indonesia yang sebesar 0,38 masih lebih baik dari beberapa negara lain. Bekas Direktur Pelaksana Bank Dunia ini membandingkan angka ketimpangan Indonesia dengan beberapa negara di Amerika Latin yang mencapai 0,6 hingga 0,7. "Sebetulnya kalau bicara 0,38, itu nggak tinggi amat," kata dia dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Senin, 22 Januari 2019.
Baca juga: Ke Raja Ampat, Sri MulyaniMulyani: Beban Pikiran Terasa Hanyut di Laut
Adapun kritik soal ketimpangan ini sebelumnya pernah disampaikan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. Ketua Umum Partai Gerindra ini menyatakan 99 persen masyarakat mengalami hidup pas-pasan bahkan bisa dikatakan sangat sulit. "Bahwa yang menikmati kekayaan di Indonesia adalah kurang dari 1 persen bangsa Indonesia," kata dia.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa ada dua hal yang harus diketahui. Pertama, ketimpangan bisa saja terjadi dalam perekonomian. Sebagai contoh, beberapa kelompok masyarakat bisa saja lepas dari kategori kemiskinan karena memang bisa kreatif dalam berusaha. Tapi, kata Sri, pemerintah juga tidak akan membiarkan masyarakat yang miskin begitu saja. "Yang miskin gak mungkin mereka naik ke kelas menengah jika tidak dibantu."
Itu sebabnya selain Kartu Indonesia Pintar (KIP), kata Sri Mulyani, pemerintah juga menambah alokasi anggaran untuk Program Keluarga Harapan (PKH) di tahun 2019 menjadi Rp 38 triliun dari semula Rp 19 triliun. Harapannya, dana PKH plus bantuan pangan bisa menyumbang 10 persen dari pendapatan 15 keluarga miskin di Indonesia. "Jadi mereka nggak ada lagi alasan untuk menyuruh anak mereka berhenti sekolah dan kerja, kami ingin memutus rantai kemiskinan," ujarnya.
Lalu kelompok masyarakat yang kaya pun juga diwajibkan untuk membayar pajak. Namun, instrumen pajak yang disediakan pun juga dibuat sedemikian mungkin agar tetap terjadi pemerataan. "Karena yang kaya juga biasanya mereka yang investasi, kami ingin mereka merasa tidak diburu-buru juga," ujarnya.
Selain itu, Sri Mulyani sadar bahwa sejak reformasi, angka ketimpangan memang terus naik karena terjadi konglomerasi besar-besaran. Uang negara saat itu juga habis digunakan untuk dana bail out sehingga tak banyak sisa anggaran guna pembangunan infrastruktur. Masyarakat miskin pun tidak banyak mendapat manfaat dari uang negara. "Maka dari itu, kami sedang mengejar ketertinggalan," kata Sri Mulyani.