5 Alasan Tim Prabowo Yakin Tarif Rendah Bisa Pacu Rasio Pajak
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Sabtu, 19 Januari 2019 14:20 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo menyebut Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto - Sandiaga Uno berujar strategi untuk menggenjot rasio pajak ke level 16 persen adalah menerapkan tarif pajak yang rendah. Strategi itu diambil antara lain dari gagasan dan observasi ekonom Tunisia Ibnu Khaldun.
Baca: Prabowo Singgung Tax Ratio 2 Kali, Begini kata Pengamat Pajak
"Inti dari observasi Ibnu Khaldun itu adalah bahwa pada awal dinasti diperoleh penerimaan perpajakan yang besar dari penilaian atau tarif yang rendah. Pada akhir dinasti, penerimaan perpajakannya rendah, berasal dari tarif yang tinggi," ujar Dradjad melalui pesan tertulis kepada Tempo, Jumat malam, 18 Januari 2019.
Gagasan tersebut, ujar Dradjad, juga telah diterjemahkan oleh ekonom Amerika Serikat Arthur B. laffer menjadi Kurva Laffer. Dalam kurva Laffer, penerimaan perpajakan adalah nol pada saat tarif nol persen, lalu naik menuju penerimaan pajak maksimum pada tarif optimal tertentu, kemudian turun lagi menuju nol pada tarif seratus persen.
"Berapa tarif yang optimal? Setiap negara tentu berbeda-beda, bahkan bisa berbeda antar periode di dalam satu negara," kata pakar ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) itu.
Dradjad memaparkan setidaknya lima alasan mengapa ia yakin penerapan gagasan-gagasan tersebut bisa menaikkan basis dan rasio pajak di Indonesia.
1. Bisa mengurangi profit shifting
Salah satu penyebab rendahnya basis pajak, ujar Dradjad, adalah maraknya profit shifting atau pemindahan keuntungan oleh perusahaan ke negara dengan tarif pajak yang jauh lebih rendah dari Indonesia.
"Mereka membuat perusahaan perdagangan di negara tersebut, sehingga bagian terbesar dari keuntungannya berada di sana," kata Dradjad. Jika nantinya tarif pajak dibuat lebih kompetitif, ujar dia, para pengusaha akan merasa rugi bila melakukan profit shifting. Sebab, biaya transaksi, administrasi, kepatuham dan lainnya menjadi relatif mahal ketimbang pajak yang dihemat.
2. Mengurangi praktek korupsi
Selama ini, kata Dradjad, tingginya tarif pajak yang terlalu tinggi cenderung membuat wajib pajak lebih senang melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme bersama aparat pajak atay hakim pengadilan pajak. Pasalnya biaya menyogok aparat dinilai lebih murah ketimbang bayar pajak. "Kalau tarifnya turun, buat apa menyogok lagi?"
3. Kampanye kesadaran pajak bisa lebih efektif
Dengan tarif pajak rendah, Dradjad yakin kampanye kesadaran membayar pajak bisa lebih efektif. Begitu pula dengan penegakan aturan perpajakan.
Sebabnya, ia yakin orang atau badan yang mampu tapi malas membayar pajak akan malu dengan kampanye itu. "Sudah tarifnya rendah kok masih ngemplang pajak, berarti anda kebangetan," ujar Dradjad. Dengan demikian, negara juga akan memiliki posisi psikologis yang lebih kuat untuk menegakkan aturan perpajakan, mulai dari intelijen pajak, pemeriksaan, hingga tindakan hukum.
4. Negara lain sudah membuktikan
Menurut Dradjad, tarif pajak Indonesia memang relatif kurang kompetitif. Termasuk, apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga Indonesia. "Mereka tarifnya rendah tapi rasio pajaknya lebih besar dari kita."
5. Bisa memacu pertumbuhan ekonomi
Dradjad berharap penurunan tarif pajak ke posisi optimal tertentu dapat memacu pertumbuhan ekonomi hingga di atas 6 persen. Sehingga, lahan yang bisa dipajaki, melalui Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Perdagangan, Pajak Bumi dan Bangunan, hingga bea cukai bisa jauh lebih banyak.
Simak berita tentang Prabowo hanya di Tempo.co