Kaleidoskop 2018: Sah, Pemerintah Akhirnya Kuasai Freeport
Reporter
Tempo.co
Editor
Dewi Rina Cahyani
Sabtu, 29 Desember 2018 18:51 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah melalui PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum akhirnya resmi menguasai 51,2 persen saham PT Freeport Indonesia. Negosiasi saham Freeport ini termasuk dalam peristiwa besar Kaleidoskop 2018.
Baca: Kaleidoskop 2018, 10 Tokoh Ekonomi yang Warnai Indonesia
Kesepakatan itu diumumkan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jumat, 21 Desember 2018 Aksi korporasi terjadi setelah pelunasan transaksi divestasi saham. Inalum mengeluarkan dana sebesar US$ 3,85 miliar atau Rp 55,8 triliun dengan kurs Rp 14.500. "Ini merupakan momen yang bersejarah setelah PT Freeport beroperasi di Indonesia sejak 1973. Kepemilikan mayoritas ini akan kita gunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," kata Jokowi.
Biaya akuisisi didapatkan setelah menerbitkan obligasi valuta asing senilai US$ 4 miliar atau Rp 58 triliun. Selain untuk pembayaran saham, sisa pendapatan dari obligasi digunakan untuk refinancing. Inalum menunjuk BNP Paribas, Citigroup, dan MUFG untuk menjadi koordinator underwriter penerbitan obligasi. Sementara itu CIMB, Maybank, SMBC Nikko, dan Standard Chatered Bank ditunjuk sebagai mitra underwriter.
Dengan rampungnya transaksi akusisi saham, Freeport Indonesia kini sudah mengantongi Izin Usaha Pertambangan Khusus operasi produksi. Jokowi mengatakan syarat lain untuk mendapatkan IUPK sudah diselesaikan. Adapun IUPK operasi produksi baru bisa didapatkan Freeport jika empat syaratnya telah dipenuhi.
Syarat tersebut antara lain pelunasan transaksi divestasi 51 persen, kewajiban membangun smelter dalam lima tahun disepakati, kewajiban perubahan rezim kontrak karya ke IUPK disepakati, serta penerimaan negara harus lebih besar setelah perubahan rezim. "Untuk hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan, yang berkaitan dengan smelter, semuanya juga telah terselesaikan dan sudah disepakati. Artinya semuanya sudah komplet dan tinggal bekerja saja," kata Jokowi.
CEO PT Freeport-McMorran Copper & Gold Inc., Richard Adkerson mengatakan akuisisi saham Freeport kepada Inalum sangat menguntungkan. Pasalnya perusahaan telah mendapatkan kepastian mengenai kelanjutan bisnisnya terkait kerja sama dengan Inalum hingga 2041. Diperkirakan dalam 2 tahun ke depan, produksi PTFI akan jauh menurun karena cadangan di tambang terbuka akan habis. Sehingga Richard mencanangkan adanya pengembangan operasi tambang.
Richard Adkerson mengatakan akan berinvestasi sebesar US$ 20 miliar untuk mengalihkan operasinya dari tambang terbuka (open pit) ke tambang bawah tanah. Sejak 1990, Freeport menambang open pit. Setelah divestasi saham, Freeport akan mengoperasikan tambang dalam terbesar di dunia. "Ini investasi yang sangat besar. Kami akan berinvestasi sebesar US$ 20 miliar sampai 2041," kata Richard.
Inalum, Freeport McMoRan Inc. (FCX) dan Rio Tinto telah menandatangani sejumlah perjanjian sebagai kelanjutan dari Pokok-Pokok Perjanjian (Head of Agreement/HoA) terkait terkait penjualan saham FCX dan hak partisipasi Rio Tinto di Freeport Indonesia ke Inalum pada September 2018. Sejumlah perjanjian tersebut meliputi perjanjian divestasi Freeport Indonesia, perjanjian jual beli saham PT Rio Tinto Indonesia (PTRTI), dan Perjanjian Pemegang Saham Freeport Indonesia.
Jumlah saham Freeport Indonesia yang dimiliki Inalum akan meningkat dari 9,36 persen menjadi 51,23 persen. Pemerintah Daerah (Pemda) Papua akan memperoleh 10 persen dari 100 persen saham PTFI. Perubahan kepemilikan saham ini akan resmi terjadi setelah transaksi pembayaran sebesar US$ 3,85 miliar atau setara dengan Rp 56 triliun kepada FCX diselesaikan sebelum akhir 2018.
Setelah divestasi rampung, Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium Budi Gunadi Sadikin mengumumkan perombakan jajaran komisaris dan direksi PT Freeport Indonesia. "Direksinya ada empat orang Indonesia dan dua orang non Indonesia," ujar dia di Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, Jumat, 21 Desember 2018.
<!--more-->
Jajaran direksi PT Freeport Indonesia yang baru adalah Direktur Utama Clayton Allen Wenas alias Tony Wenas dan Wakil Direktur Utama Orias Petrus Moedak. Di bawah mereka ada jajaran direktur yaitu Jenpino Ngabdi, Achmad Ardianto, Robert Charles Schroeder, dan Mark Jerome Johnson.
Pada jajaran komisaris juga diisi oleh empat orang Indonesia dan dua orang non-Indonesia. Dewan Komisaris PT Freeport Indonesia terbaru diisi antara lain oleh Komisaris Utama Richard Carl Adkerson dan Wakil Komisaris Utama Amin Sunaryadi. Mereka didampingi jajaran komisaris, yaitu Budi Gunadi Sadikin, Hinsa Siburian, Kathleen Lynne Quirk, dan Adrianto Machribie.
Baca: Ini Cerita Luhut Soal Video Lawas Terkait Freeport
Freeport telah beroperasi di Papua sejak 1967. Adapun negosiasi dengan perusahaan asal Amerika Serikat ini melalui jalan panjang dan berliku. Pemerintah sudah melakukan pembicaraan sejak dua tahun lalu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan sejak tahun 1967, Freeport McMoran (FCX) memegang Kontrak Karya (KK) penambangan di Papua. KK tersebut diperpanjang pada 1991 untuk jangka waktu 30 tahun sampai dengan 2021.
"Pada Kontrak Karya 1991 tercantum bahwa setelah 2021 pemerintah Republik Indonesia akan memberikan perpanjangan hak penambangan 2x10 tahun (hingga 2041) - dan tidak akan melakukan penghentian kontrak tanpa alasan yang wajar," kata dia seperti tertulis dalam instagramnya @smindrawati, Kamis, 27 Desember 2018.
Dengan berbekal KK tersebut, kata Sri Mulyani, Freeport sejak 7 tahun lalu sudah meminta proses pembahasan untuk mendapatkan persetujuan perpanjangan kontrak karya hingga 2041. Ia memaparkan, alasan mereka adalah keputusan perpajangan kontrak harus dilakukan jauh hari agar kepastian invetasi ke depan dan kontinuitas operasi penambangan dapat dijaga dan tidak berhenti.
Rumitnya pembahasan divestasi Freeport diungkapkan pula oleh Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali. Menurut Rhenald, saat Presiden Joko Widodo atau Jokowi akan mengeksekusi pembelian saham Freeport, Amerika Serikat marah dan mengirim pasukan ke Australia.
"Saat Jokowi eksekusi, Jakarta selalu digoyang. Amerika marah besar, bahkan sempat kirim pasukan yang merapat di Australia. Namanya juga negara adikuasa," kata Rhenald melalui Whatsapp, Rabu, 26 Desember 2018.
Meski demikian, rampungnya divestasi Freeport tetap menuai kritik. Anggota Badan Komunikasi Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Andre Rosiade mengatakan pemerintah dinilai terlalu terburu-buru membeli saham Freeport. Apabila bersabar, Indonesia bisa mendapatkan tambang di Papua itu dengan harga yang murah.
Selain itu, Gerindra juga menyoroti kewajiban Freeport membayar denda dalam jumlah besar akibat pelanggaran yang dilakukannya. Salah satu perkara yang diungkit Andre adalah soal temuan Badan Pemeriksa Keuangan mengenai kerusakan lingkungan yang diakibatkan aktivitas perusahaan pertambangan itu.
<!--more-->
"Hasi audit BPK-nya kan kita rugi ratusan triliun dengan kerusakan lingkungan itu, harusnya tunggu dulu kita tunggu dulu pemerintahan baru, jangan dikemas sekadar untuk pencitraan," ujar Andre. Ia tak ingin gara-gara Pemilu, pemerintah jadi terburu-buru mengeluarkan kocek dari utang dengan nominal hingga di atas Rp 50 triliun itu. "Ini bisa menambah beban untuk bangsa kita, padahal kita bisa dapat lebih murah, bahkan gratis."
Namun hal itu dibantah Inalum. Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga Inalum Rendi Witular menegaskan proses divestasi Freeport tidak seperti membeli "barang sendiri" milik Indonesia. Freeport Indonesia melakukan eksplorasi dan penambangan berdasarkan kontrak karya dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada 1967 di zaman Soeharto dan diperbarui 1991 dengan masa operasi hingga 2021.
Terkait masa operasi, Freeport McMoRan yang merupakan perusahaan pengendali Freeport Indonesia memiliki interpretasi yang berbeda atas isi pasal perpanjangan. Pengertian Freeport McMoRan adalah bahwa kontrak karya akan berakhir 2021 namun mereka berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun atau hingga 2041. Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara "tidak wajar".
Interpretasi yang berbeda terkait kata tidak wajar ini, menurut Rendi, harus diselesaikan di pengadilan internasional (arbitrase). Jika ambil jalur arbitrase, dampaknya operasional PTFI akan dikurangi atau bahkan dihentikan.
Hal ini, menurut Rendi, akan berakibat pada runtuhnya terowongan bawah tanah sehingga biaya untuk memperbaikinya bisa lebih mahal dari harga divestasi. Tambang Grasberg adalah yang terumit di dunia. Dampak kedua adalah ekonomi Mimika akan terhenti karena sekitar 90 persen ekonomi mereka digerakkan oleh kegiatan PTFI.
Baca: Kaleidoskop 2018: 10 Peristiwa yang Jadi Sorotan Dunia
Sementara itu, tidak ada jaminan pula Indonesia dapat menang di arbitrase yang sidangnya dapat berlangsung bertahun-tahun, dan jika kalah bisa pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi jauh lebih besar dari harga divestasi.
LARISSA HUDA | FRISKI RIANA | CAESAR AKBAR | ANTARA