Pemerintah dan BUMN Pastikan Mampu Bayar Utang Luar Negeri
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 20 Desember 2018 08:24 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Subdirektorat Mitigasi Risiko Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kementerian Keuangan, Riko Amir, memastikan kemampuan pemerintah membayar utang luar negeri, termasuk yang jatuh tempo pada 2019. “Utang pemerintah dalam kondisi aman, dan pemerintah mampu membayar sesuai dengan kemampuan keuangan negara,” ujarnya kepada Tempo, Rabu 19 Desember 2018.
Baca: 2019, Pemerintah Diminta Waspadai Jatuh Tempo Utang Luar Negeri
Riko mengatakan, dari sisi rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto hingga 30 Oktober 2018, berada dalam kisaran 30,68 persen. Angka tersebut jauh di bawah batas maksimum yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara sebesar 60 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pertambahan nilai utang pemerintah juga disertai dengan kemampuan pengelolaan utang yang baik. Terlebih, utang tersebut digunakan untuk kepentingan jangka panjang, seperti pembangunan infrastruktur, sembari membiayai program sosial pemerintah, seperti jaminan kesehatan dan subsidi pendidikan. “Jumlah utang itu akan menurun seiring dengan mulai beroperasinya berbagai infrastruktur yang telah dibangun,” ucapnya.
Deputi Bidang Usaha Konstruksi dan Sarana Prasarana Perhubungan Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Ahmad Bambang, mengatakan tingkat utang perusahaan pelat merah saat ini masih sangat aman. “Karena realitas utang BUMN hanya kurang dari Rp 2.000 triliun,” ujarnya. Utang BUMN lainnya adalah liabilitas simpanan pihak ketiga di bank dan asuransi. “Penggunaan utang itu juga dipastikan hanya untuk sektor yang produktif.”
Sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno menegaskan bahwa utang korporasi BUMN tanpa menghitung aktivitas BUMN perbankan hanya Rp 1.980 triliun. Menurut dia, pengawasan utang juga dilakukan secara ketat, khususnya dalam skema perencanaan pengembalian.
Perusahaan negara, kata Rini, punya tanggung jawab menyetorkan deviden, pajak, dan pendapatan negara bukan pajak. Dia menambahkan, BUMN menyumbang sekitar Rp 380 triliun kepada APBN.
<!--more-->
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan solusi untuk menahan lonjakan utang khususnya dari asing, di antaranya melalui penundaan proyek infrastruktur yang mengandalkan pembiayaan utang luar negeri. “Dan memastikan utang tidak untuk menambal defisit anggaran yang konsumtif, misalnya, belanja pegawai dan bantuan sosial,” ujarnya.
Dia menyarankan untuk mengantisipasi risiko selisih kurs yang masih akan bergejolak pada tahun depan. Salah satunya, kata Bhima, dengan melakukan lindung nilai utang luar negeri.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Shinta Kamdani, berujar setiap utang yang ditarik telah disertasi perhitungan yang matang untuk kebutuhan produktif mendorong perekonomian. “Industri pengolahan, misalnya, salah satu sektor yang mengalami pertumbuhan utang, karena memang kita membutuhkan modal untuk berproduksi, dan ini justru bagus karena artinya bisnis masih optimistis,” ujarnya.
Ketua Indonesian National Shipowners Association, Carmelita Hartoto, mengatakan utang sektor transportasi banyak diserap BUMN. “Swasta tidak banyak menganggarkan investasi sarana alat produksinya,” kata dia.
Namun, menurut Carmelita, bagi swasta yang memiliki utang dalam bentuk dolar Amerika Serikat, memang memerlukan perhatian khusus. “Mereka perlu membuat perencanaan bisnis ulang, karena nilai tukar dikhawatirkan masih fluktuatif, meski saat ini rupiah tengah menguat.”
GHOIDA RAHMAH | LARISSA HUDA | YOHANES PASKALIS