Ekonomi Global Berfluktuasi, Sri Mulyani: Adjustment, Adjustment
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 3 Oktober 2018 16:07 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah terus melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam menghadapi dinamika perekonomian global. Tak terkecuali saat ini ketika fluktuasi ekonomi global yang secara tak langsung berdampak pada makin jebloknya kurs rupiah tembus ke level Rp 15 ribuan per dolar AS.
Baca: Kurs Rupiah Tembus 15.000, Sri Mulyani: Pemerintah Terus Memantau
Dengan tekanan yang terus terjadi di neraca pembayaran, Sri Mulyani menegaskan pemerintah berfokus agar tekanan itu tidak berdampak negatif kepada perekonomian secara umum. "Makanya adjusment, adjustment, adjustment. Itu tema yang kita lakukan, baik policy adjusment dan level adjusment," kata dia, di Hotel Raffles, Jakarta, Rabu, 3 Oktober 2018.
Kurs tengah Bank Indonesia hari ini mencatat rupiah di level Rp 15.088 per dolar AS. Angka itu melampaui kurs rupiah yang dipatok di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2018 di level Rp 13.400 per dolar AS.
Sri Mulyani mencontohkan, situasi perekonomian global yang bergerak begitu cepat ditandai dengan sejumlah kebijakan yang diambil oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) turut memperlebar defisit transaksi berjalan. Bahkan angka defisit diprediksi mencapai 3 persen dari Produk Domestik Bruto pada tahun ini karena di saat yang bersamaan nilai impor juga melonjak. Defisit itu yang kemudian menekan nilai tukar rupiah.
Sebelumnya diketahui The Fed telah mengerek suku bunga acuannya. Dari sinyal yang diberikan terlihat The Fed berencana menaikkan suku bunga dari 0,25 hingga melebihi 2 persen hingga 2019.
Lebih jauh Sri Mulyani menjelaskan, sebetulnya jika dalam keadaan ekonomi normal yaitu tidak ada kenaikan suku bunga The Fed dan pengetatan likuiditas, maka defisit transaksi berjalan 3 persen dengan ekonomi domestik yang cukup baik, mestinya ada hal-hal positif yang bisa dicapai. "Bisa menarik inflow, sehingga kita bisa financing terhadap defisit," ujarnya.
Sri Mulyani lalu membandingkan kondisi saat ini dengan tahun 2013 saat tapper tantrum terjadi. Kala itu, defisit transaksi berjalan Indonesia melebihi 3 persen dan rupiah terkoreksi cukup dalam. "Saat itu tapper tantrum terjadi saat The Fed mengumumkan rencana normalisasi, tapi kali ini sudah melaksanakan, bukan lagi mengumumkan," ucapnya.
Baca: Sri Mulyani: Kerugian Akibat Bencana Alam Rp 22 Triliun per Tahun
Secara historis, kata Sri Mulyani, Indonesia juga sempat melalui dua kali kenaikan suku bunga The Fed pada 2017. Kala itu rupiah masih cenderung stabil dan defisit transaksi berjalan masih di bawah 2 persen. "Capital inflow masih baik sehingga nilai tukar cukup stabil."