Bank Indonesia: Pariwisata Bisa Suplai Devisa Lebih Stabli
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 30 Agustus 2018 07:30 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerintah dan Bank Indonesia sepakat untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai fokus utama sumber pendapatan devisa. Percepatan penerimaan devisa diharapkan dapat memperbaiki defisit transaksi berjalan (CAD) bahkan menjadi surplus dalam beberapa tahun ke depan.
Baca: Sektor Pariwisata Merugi Hingga Rp 1 Triliun Akibat Gempa Lombok
“Potensi dari pariwisata besar sekali, karena dia masuk tiga besar penyumbang devisa terbesar, kalau konsisten terus CAD diharapkan lebih positif,” ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, di Yogyakarta, Rabu 29 Agustus 2018.
Sebelumnya, defisit di akhir tahun ini diprediksi melebar hingga US$ 25 miliar akibat derasnya aliran impor, khususnya barang modal. Sebagai kompensasi pemerintah dan bank sentral harus mencari jalan tengah untuk menambah pemasukan devisa dan menjaga neraca tetap positif.
Di tengah himpitan gejolak perekonomian global dan gejolak nilai tukar rupiah, sektor pariwisata diharapkan dapat mendorong peningkatan suplai devisa yang lebih stabil. Sebab, investasi atau aliran modal portofolio di pasar keuangan dan pasar modal cenderung lebih rentan. “Sebenarnya CAD untuk Indonesia sepanjang tidak melebihi 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) masih aman, tapi kami semua ingin bisa turun lebih cepat, agar lebih aman di tengah kondisi global yang tidak stabil,” kata Perry.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan berujar pemerintah memandang pariwisata sebagai solusi tercepat dan mudah untuk mengatasi tekanan pelebaran CAD, yang tahun lalu defisitnya mencapai US$ 17,5 miliar. “Tapi dengan langkah-langkah ini kami melihat tahun depan mungkin CAD kita akan hampir nggak ada atau ke arah nol,” ucapnya.
Terlebih, pemerintah juga mengimbangi kebijakan tersebut dengan upaya lainnya, salah satunya penggunaan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dengan campuran 20 persen minyak sawit (B20) untuk kendaraan pribadi. “Ini mengurangi impor minyak mentah, penghematannya bisa sampai US$ 2 miliar tahun ini, dan tahun depan bisa US$ 8-10 miliar, jelas bisa membantu CAD kita,” katanya. Dia pun berharap produksi dan harga komoditas kelapa sawit dapat meningkat.
<!--more-->
Luhut menuturkan adanya tekanan global seperti perang dagang antara AS dan Cina juga tak akan menghambat upaya penurunan defisit. “Buat kami ini tetap keberkahan, kami melihat selama ini kami royal impor ternyata nggak perlu dan bisa diganti substitusinya, malah jadi bisa menghemat, pariwisata juga tetap akan kami kebut,” ujarnya. Dia pun optimistis Indonesia bisa mencapai surplus CAD pada 2020 mendatang. “Pasti bisa.”
Menteri Pariwisata Arief Yahya pun meyakini devisa pariwisata ke depan dapat menjadi tumpuan. Tahun ini, devisa dari sektor pariwisata diharapkan mencapai US$ 17,5 miliar, dan tahun depan meningkat menjadi US$ 20 miliar. “Ini sangat mungkin tercapai, karena sampai semester 1 tahun ini saja sudah sekitar US$ 16,5 miliar,” ucapnya.
Tak hanya devisa, pariwisata juga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan lapangan kerja. “Pariwisata ini tinggal dipromosikan orang datang, kalau sektor tambang misalnya harus eksplorasi dulu 5-7 tahun, memakan waktu lama.”
Sementara itu, Ketua Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso menambahkan upaya lain yang ditempuh adalah dengan meningkatkan akses pembiayaan bagi kegiata usaha di sektor pariwisata. “Khususnya untuk UMKM kami menciptakan skema pembiayaan yang mudah dan cepat yaitu Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus untuk pelaku usaha sektor ini, dengan bunga rendah 7 persen,” katanya.
Selain itu, OJK juga mendorong pembiayaan lainnya seperti kredit investasi perbankan hingga bank wakaf mikro. “Kami juga menyiapkan akses pembiayaan untuk sarana dan prasarana yang tidak bisa dibiayai oleh sumber komersial, seperti masalah air besih dan lingkungan,” ujarnya.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo berujar pihaknya juga tak ketinggalan memberikan dukungan dari sisi fiskal. “Khusus 2019 akan ada dana alokasi khusus (DAK) non fisik yang disalurkan senilai Rp 213,2 miliar untuk pelatihan masyarakat lokal dan pengusaha bidang pariwisata, hingga dana dukungan operasional rutin untuk pusat informasi wisatawan,” katanya.
Baca: IMF-World Bank Summit, Dana Infrastruktur Wisata Akan Ditambah
Sedangkan, untuk DAK fisik, menurut Mardiasmo pemerintah akan mengucurkan sekitar Rp 1 triliun untuk pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata. “Kami memang prioritaskan fisik dulu sebagai pendorong pariwisata.”
Kementerian Keuangan juga berkomitmen untuk memberikan kemudahan percepatan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk pelaku usaha sektor pariwisata, seperti hotel dan restoran. “Biasanya harus diperiksa dan diverifikasi dulu baru direstitusi, sekarang kami mau mengubah jadi kalau sudah punya track record bagus dengan Ditjen Pajak dan Bea Cukai, maka bisa langsung direstitusi,” ucapnya.
Simak berita tentang Bank Indonesia di Tempo.co