Perang Dagang AS-Cina, Sri Mulyani Beberkan Risikonya bagi RI
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 3 Juli 2018 07:56 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia perlu waspada atas terjadinya dinamika perekonomian yang sangat tinggi antara negara barat dan Cina, khususnya yang terkait dengan perang dagang Amerika Serikat-Cina. "Itu dampaknya menimbulkan spill over," ujar dia di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 2 Juli 2018.
Sebab, menurut Sri Mulyani, saat ini penyesuaian kebijakan perekonomian yang terjadi di Amerika Serikat masih terus berjalan. Seiringan dengan kebijakan itu, reaksi dari negara-negara yang terdampak, khususnya di bidang perdagangan juga tengah dimulai.
Baca: Jokowi Ingin Program Pensiun ASN Diubah, Ini Respons Sri Mulyani
"Jadi kita melihatnya harus dalam konteks menjaga secara jangka yang cukup panjang. Karena ini tidak cuma satu policy yang sifatnya seminggu dari negara-negara tersebut," kata Sri Mulyani.
Oleh karena itu, Sri Mulyani mengatakan pemerintah mesti melakukan bauran kebijakan untuk saling mengisi, baik dari kebijakan fiskal, moneter, hingga sektor riil. Contohnya, saat Bank Indonesia memilih kebijakan menaikkan suku bunga yang diteruskan relaksasi dari sisi kebijakan kredit.
Baca: Sri Mulyani Ibaratkan Manuver Trump Bisa Timbulkan Gempa Bumi
Langkah itu lalu ditanggapi pemerintah dengan mengambil kebijakan di sisi fiskal melalui insentif pajak maupun dari sisi belanja yang bertujuan mengurangi tekanan dalam perekonomian Indonesia. "Gejolak ini dampaknya memang akan membuat beberapa indikator mengalami pergerakan, yang kemudian menimbulkan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi," ujar Sri Mulyani. "Demikian kita tetap bisa melakukan adjusment terhadap shock ini, namun dampak dalam negerinya diminimalkan."
Sebelumnya, Sri Mulyani mengatakan dunia tengah dihadapkan pada kondisi yang disebut dengan normal baru, yaitu meningkatnya kondisi suku bunga. Selain itu dunia juga dihantam oleh ketidakpastian lantaran adanya perang dagang dan kondisi harga minyak terkini.
"Misalnya dengan Presiden Trump mengatakan telah menelepon Raja Salman agar menaikkan produksi minyak menjadi dua juta barel per hari untuk menggantikan Iran dan Venezuela, itu pasti akan direspon publik," kata Sri Mulyani.