Sri Mulyani: 5 Tantangan Struktural Ekonomi 20 Tahun Reformasi
Reporter
Bisnis.com
Editor
Kodrat Setiawan
Senin, 21 Mei 2018 07:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Setelah 20 tahun reformasi bergulir, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut ada lima tantangan struktural utama yang harus diatasi.
Pertama, pembangunan manusia. Jumlah penduduk Indonesia sekarang sekitar 259 juta orang dan didominasi penduduk usia muda, tapi konsep pembangunan manusianya belum terumuskan dengan baik dan koheren.
Baca juga: Sri Mulyani Targetkan Ekonomi 2019 Tumbuh 5,4-5,8 Persen
"Mulai dari pembangunan manusia sejak usia dini, pelayanan kesehatan universal yang baik, pembangunan pendidikan dan pelatihan, hingga rancangan jaring pengaman sosial dan pensiun yang dan sustainable," ungkap Sri Mulyani, Minggu, 21 Mei 2018.
Kebijakan pendidikan dan kesehatan yang didelegasikan ke daerah diakui membuat koordinasi menjadi sulit dan kualitasnya tidak merata.
Padahal, program pembangunan yang fokus pada perbaikan kualitas manusia menjadi sangat mendesak seiring revolusi teknologi--yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki produktivitas, daya saing, serta kualitas hidup bangsa.
Kedua, kualitas tenaga kerja Indonesia yang rendah sebagai implikasi pembangunan manusia yang tertinggal. Menurut Sri Mulyani, penciptaan pekerjaan yang berkualitas dihadapkan pada kualitas rata-rata penduduk Indonesia yang hanya berpendidikan dasar dan menengah.
<!--more-->
Ketiga, kata Sri Mulyani, koordinasi pusat dan daerah dan antar daerah, tata ruang dan urbanisasi, serta infrastruktur yang tidak tertata. Jika ini diperbaiki, seharusnya bisa meningkatkan produktivitas ekonomi dan menjadi penunjang mobilitas serta produktivitas masyarakat.
Dia menuturkan sejak reformasi, daerah tidak hanya tertinggal dalam pembangunan infrastruktur. Perkembangan kabupaten, kota, provinsi lebih mengikuti pola daerah dan koordinasi nasional pun menjadi lemah.
Akibatnya, Indonesia tidak bisa menciptakan pola urbanisasi dan konektivitas yang menunjang transformasi ekonomi menuju modernisasi serta pemerataan pembangunan.
"Pembangunan masih terpusat di Jawa/Jakarta. Indonesia belum mampu memanfaatkan proses urbanisasi untuk perbaikan daya saing dan produktivitas ekonomi dan masyarakat serta menciptakan pemerataan kesejahteraan," papar Sri Mulyani.
Urbanisasi yang tidak tertata dan terencana pun akhirnya malah memunculkan berbagai masalah baru, seperti ekonomi biaya tinggi (biaya transportasi/komuter, biaya perumahan), biaya sosial dan kesehatan (kemacetan, polusi), serta keamanan.
Keempat, komoditas masih mendominasi ekonomi Indonesia. Sementara itu, industrialisasi justru mengalami stagnasi sejak reformasi dan perkembangan serta pendalaman industri manufaktur belum terwujud maksimal.
Kelima, perkembangan sektor keuangan yang belum mendalam dan maju. Hal ini membuat ekonomi Indonesia mudah tertekan gejolak global.
<!--more-->
Sri Mulyani menilai industri keuangan, pasar modal, dan lembaga keuangan bukan bank masih sangat terbatas. Oleh karena itu, sangatlah mendesak untuk membangun sektor ini.
Caranya, dengan meningkatkan tabungan domestik, mengembangkan instrumen tabungan dan investasi, membangun tata kelola yang baik dan andal, memperbaiki integritas pelaku pasar uang baik swasta maupun BUMN, serta memperkuat regulatornya.
"Konsekuensi poin keempat dan kelima adalah external balance Indonesia yang masih terus perlu diperkuat sehingga memungkinkan ekonomi Indonesia tumbuh tinggi dan cepat secara inklusif serta tidak terkendala dari segi neraca pembayaran," katanya.
Sri Mulyani menyatakan pemerintah akan menggunakan instrumen kebijakan fiskal dan kebijakan kementerian teknis lain untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Kuncinya, anggaran dan efektivitas program pendidikan, kesehatan, dan jaring pengaman sosial.
Di sisi pembangunan infrastruktur, dukungan fiskal akan diperkuat dan diperbaiki. Dukungan fiskal juga disebut sebagai salah satu penentu untuk pendalaman industri, investasi, dan ekspor.
Sebagai catatan, tahun ini pemerintah menganggarkan dana Rp 77,26 triliun untuk bantuan sosial (bansos), Rp 444,1 triliun untuk anggaran pendidikan, dan Rp 111 triliun dialokasikan untuk kesehatan.
Sementara itu, anggaran untuk infrastruktur ditetapkan Rp 410,7 triliun. Adapun target investasi sebesar Rp 765 triliun, meski dipertimbangkan direvisi turun karena adanya keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk memangkas target investasi di sektor migas, listrik, dan pertambangan.
Untuk ekspor, pemerintah menargetkan pertumbuhan 11 persen. Secara keseluruhan, kata Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi 2018 diharapkan mencapai 5,4 persen.
BISNIS