Menperin: Pertambahan Nilai Industri Manufaktur Indonesia Tertinggi di ASEAN
Reporter
Kartika Anggraeni
Editor
Martha Warta
Minggu, 11 Februari 2018 18:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, Indonesia telah dinilai menjadi basis produksi manufaktur terbesar di ASEAN. Hal itu seiring dengan upaya pemerintah saat ini ingin melakukan transformasi ekonomi agar fokus terhadap pengembangan industri pengolahan nonmigas.
“Jadi, kita telah menggeser dari commodity based ke manufactured based,” kata Airlangga dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Minggu, 11 Februari 2018.
Baca: Pemerintah Akan Permudah Perusahaan Manufaktur Mendapat Insentif
Menurut Airlangga, manufaktur menjadi kunci penting untuk memacu perekonomian nasional karena lebih produktif dan memberikan efek berantai yang luas. Airlangga melihat industri mampu meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri, menyerap banyak tenaga kerja, menghasilkan devisa dari ekspor, serta penyumbang terbesar dari pajak dan cukai.
“Jangan sampai kita terus mengekspor sumber daya alam mentah kita tanpa pengolahan,” ujar dia.
Airlangga mengungkapkan, jika dilihat dari sisi pertumbuhan manufacturing value added (MVA), Indonesia menempati posisi tertinggi di antara negara-negara di ASEAN. MVA Indonesia mampu mencapai 4,84 persen, sedangkan di ASEAN berkisar 4,5 persen. Di tingkat global, Indonesia saat ini berada di peringkat ke-9 dunia.
“Ekonomi Indonesia berbeda dengan negara ASEAN yang lain, disebabkan sekarang Indonesia sudah masuk dalam one trillion dollar club,” ucap Airlangga.
Untuk itu, kata dia, pemerintah menitikberatkan pada pendekatan rantai pasok industri nasional agar lebih berdaya saing di tingkat domestik, regional, dan global. Langkah pemerintah Indonesia yang sedang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dengan menggenjot sektor industri manufaktur juga dilakukan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, seperti Filipina dan Vietnam.
“Bahkan, beberapa negara ASEAN sudah membuat roadmap Industry 4.0. Kita juga catching up di era ekonomi digital ini,” kata dia.
Airlangga mengatakan, kekuatan ekonomi Indonesia 80 persen berbasis pasar dalam negeri dan sisanya ekspor. Hal ini tidak sama dengan Singapura atau Vietnam yang hampir keseluruhannya berorientasi ekspor.
“Perbedaannya, kita punya domestic market yang besar. Ini aset penting kita, selain orientasi ekspor juga perlu menjaga potensi domestik,” tuturnya. Terlebih lagi, peluang ekspor industri manufaktur nasional masih terbuka lebar khususnya ke pasar ASEAN.
Sebanyak 50 pabrik Indonesia telah beroperasi di Vietnam dan Thailand. Potensi ekspor nasional bisa lebih ditingkatkan terutama melalui pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Airlangga pun mencontohkan, industri kemasan, makanan hingga semen yang keberadaannya harus dekat dengan konsumen, tidak efisien lagi untuk ekspor menggunakan transportasi karena tidak sebanding biayanya.
“Maka dia harus ekspansi dalam bentuk corporate action, di situ Kemenperin terus dorong. Beberapa perusahaan telah membuka pasar baru seperti di Nigeria. Kita sudah ada pabrik makanan di sana, dan rencana baru akan ekspansi lagi perusahaan berbasis pupuk,” ucap dia.