TEMPO Interaktif, Jakarta - Krisis keuangan yang dialami maspakai penerbangan PT Merpati Nusantara Airlines dinilai telah mencapai titik kritis. Bukan itu saja, perusahaan ini juga tidak sehat dalam strategi perusahaan.
"Sudah saatnya dipertanyakan masihkah keberadaan Merpati dibutuhkan," kata pengamat penerbangan, Alvin Lie, melalui surat elektronik kepada Tempo, Senin, 17 Oktober 2011 malam.
Alvin mengatakan, kesulitan keuangan Merpati merupakan penyakit menahun perusahaan ini. Merpati telah beberapa kali mendapat bantuan dana dari pemerintah. Pada 2010, setengah dari permintaan Merpati senilai Rp 600 miliar disetujui pemerintah.
Tahun sebelumnya, Merpati juga memperoleh kucuran anggaran Rp 450 miliar dari Rp 1,1 triliun yang diajukan. "Suntikan itu habis digunakan membayar utang maupun gaji pegawai," kata Alvin.
Paruh pertama 2011, Merpati juga mendapat tambahan dana lebih dari Rp 500 miliar melalui APBN Perubahan. Saat ini, dana itu belum dikucurkan pemerintah melalui Kementerian Keuangan.
Dari aspek manajemen perusahaan, Alvin berpendapat, Merpati tidak mampu membeli pesawat baru. Solusinya, manajemen menempuh jalur sewa pesawat. Tapi upaya itu dinilai Alvin mendapat berbagai kendala.
"Bahkan bekas direktur utama Merpati harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Alvin.
Mantan legislator DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional ini mengatakan, kemampuan keuangan memojokkan Merpati sehingga tak punya pilihan lain dalam pengadaan pesawat.
Merpati hanya bisa melakukan pengadaan pesawat MA-60 buatan Cina yang memberi sistem pembayaran amat ringan dan kompetitif. Alvin mengatakan, tahun lalu, Merpati sudah memperoleh keringanan utang melalui restrukturisasi utang oleh lessor.
Namun, kata dia, kali ini timbunan utang itu kembali menumpuk. "Membayar Pertamina saja Merpati mengalami kesulitan likuiditas," kata Alvin.
Dengan kondisi itu, Alvin meminta pemerintah segera melakukan koreksi atas keberadaan Merpati. Menurut dia, pemerintah harus mempertimbangkan segmen pasar dan jalur tujuan.
"Haruskah Merpati terus melayani rute perintis sebagai pelayanan publik atau berubah haluan menjadi perusahaan kompetitif dan berorientasi laba," kata Alvin.
Dia mengatakan, Merpati dipastikan tidak mampu hidup mandiri. Buktinya, setiap tahun Merpati harus mendapat suntikan dana yang dimanfaatkan untuk sekadar mengurangi utang yang menumpuk.
Jika pemerintah tetap mempertahankan keberadaan Merpati, sebaiknya disiapkan anggaran subsidi yang jelas. Tapi jika pemerintah menilai jalur perintis saat ini sudah cukup dilayani secara efisien oleh maskapai swasta maka, "Segera transformasi Merpati menjadi maskapai kompetitif dengan konsekuensi menambah modal agar tercapai rasio keuangan yang sehat," kata Alvin.
Dia menuturkan jika kemudian Merpati harus tutup buku, pemerintah diminta melakukan secara elegan. "Jangan biarkan Merpati merana sampai mati," ucap Alvin.
ABDUL RAHMAN