TEMPO Interaktif, Jakarta - Jutaan industri kecil dan menengah (IKM) Indonesia belum memiliki fasilitas perlindungan merek. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, dari 3,6 juta IKM yang ada di Indonesia, baru sekitar 1.678 yang terdaftar dan mengajukan fasilitas perlindungan merek melalui klinik HKI Kementerian Perindustrian.
"Branding saat ini adalah masalah utama banyaknya IKM yang belum punya," kata Wakil Menteri Perindustrian Alex S. W. Retraubun, Kamis, 11 Agustus 2011. Kondisi ini terjadi karena pengusaha IKM pada umumnya memiliki keterbatasan modal usaha dan kesadaran rendah akan pentingnya penggunaan merek pada hasil produksi mereka.
Apalagi IKM juga memiliki keterbatasan dalam hal promosi. Padahal branding sangat penting untuk meningkatkan pemasaran seiring dengan makin ketatnya persaingan setelah dibukanya sejumlah perjanjian perdagangan bebas dengan sejumlah negara dan wilayah, termasuk Cina.
Dengan adanya merek, konsumen akan terbantu dalam berbelanja. Konsumen juga akan lebih mudah mengenali dan membedakan satu produk dengan produk lainnya. Sejumlah IKM yang telah memiliki merek terbukti telah berhasil dikenali oleh konsumen, seperti Dagadu di Yogyakarta, Jogger di Bali, dan Kartika Sari di Bandung.
Begitu juga industri rumah makan, seperti Rumah Makan Mbok Berek, Mbah Jingkrak, dan Bumbu Desa. "Merek-merek tersebut berhasil masuk pasar dan punya posisi di hati konsumen," ujarnya.
Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian Euis Saedah mengatakan untuk membantu penguatan merek di sektor UKM, Kementerian Perindustrian telah mendirikan Klinik Konsultasi HKI-IKM.
"Klinik akan memberikan pelayanan HKI berupa konsultasi dan pelatihan pendaftaran, bimbingan teknis, hingga advokasi," katanya.
AGUNG SEDAYU