TEMPO Interaktif, Jakarta - Indonesia Property Watch mengindikasikan RUU Rumah Susun yang tengah digodok oleh Komisi infrastruktur Dewan Perwakilan Rakyat banyak didikte oleh pengembang untuk kepentingan komersial. Direktur Eksekutif IPW Ali Tranghanda mencatat beberapa pasal yang mengindikasikan keberpihakan DPR terhadap pengembang, diantaranya mengenai kepemilikan asing.
“Hunian rakyat perlu diproteksi dari kepemilikan asing. Kepemilikan asing cukup dengan hak pakai. Dengan adanya kepemilikan asing ini berarti indikasi pengembang berusaha menggolkan kepentingannya. Ini harus dipertimbangkan matang-matang,” kata Ali, di Jakarta, Selasa (19/4).
Mengenai kepemilikan asing tersebut, Asosiasi Penghuni Rumah Susun (Aperssi) juga berpendapat sama. Menurut Ketua Umum Aperssi Ibnu Tadji, kepemilikan asing dalam rumah susun ataupun di rumah tapak justru akan menghilangkan kesempatan warga Indonesia untuk bisa berinvestasi.
“Justru jika asing hanya punya hak pakai bukan hak milik, maka masyarakat bisa melakukan sewa-menyewa rumah dengan asing. Ini kan bisa menambah pendapatan mereka. Harusnya kepentingan masyarakat Indonesia yang lebih didahulukan,” kata Ibnu saat dihubungi.
Tak hanya itu, dia juga menilai RUU Rusun pengganti UU No 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, sama sekali tak berpihak pada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Indikatornya, kata Ketua Aperssi Ibnu Tadji, yaitu kebijakan pembelian unit rumah susun tanpa hak atas tanahnya.
“Unit dan tanah nanti akan jadi terpisah dan dengan pembelian unit tanpa tanah ini kalau masa hak gunanya habis lalu tanah diambil lagi oleh pengembang ini akan jadi tidak adil. Ini sama saja tidak ada perlindungan untuk konsumen,” jelasnya.
Pasal lain yang perlu dikritisi, tambahnya, juga mengenai pembentukan Perhimpunan Penghuni Rusun (PPRS) yang dalam RUU tersebut akan lebih banyak dikelola oleh pengembang, bukan penghuni. Disebutkannya, PPRS bisa terbentuk apabila seluruh unit terjual habis. Padahal seharusnya PPRS wajib dibentuk oleh penghuni tanpa syarat.
ROSALINA