Rama Pratama: Indonesia harus Minta Pengurangan Utang
Reporter
Editor
Senin, 27 Februari 2006 16:33 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: Rasio utang RI terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dinilai terlalu besar, yaitu mencapai lebih dari 45 persen. Kondisi ini menyebabkan hampir 30 persen Anggaran Belanja Indonesia (APBN) dialokasikan untuk membayar utang. Tingginya level utang tersebut menyebabkan berkurangnya sumber daya yang dapat dialokasikan untuk kepentingan investasi, agar dapat memperbaiki kinerja ekspor dalam negeri. Hal ini disampaikan Rama Pratama, Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI dalam Seminar Regional untuk Parlemen yang diselenggarakan Bank Dunia di Kuala Lumpur, Malaysia, Senin (27/2). Hadir sebagai wakil dari Parlemen Indonesia (DPR RI), Rama mengutip pendapat Pattilo, Pairson dan Ricci, yang menemukan hubungan negatif antara utang dengan tingkat pendapatan per kapita. Di lebih dari 100 negara, penelitian itu menemukan kontribusi utang terhadap pendapatan perkapita suatu negara adalah negatif untuk rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (debt to GDP ratio) yang berada dalam kisaran persentase 35-45 persen. “Ini artinya utang tidak mempunyai peranan besar dalam merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pada akhirnya, situasi ini pula lah yang bisa menjelaskan mengapa tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia masih berada pada level yang teramat tinggi,” ujar Rama di depan peserta seminar dari belasan negara tersebut.Anggota Fraksi PKS ini mengusulkan agara pemerintah RI mengajukan pengurangan utang kepada kreditor. “Berdasarkan premis-premis di atas, sangat realistis dan masuk akal jika Indonesia meminta pengurangan utang,” ujarnya. Rama menyatakan pengurangan utang ini akan membuat APBN memiliki kapasitas yang cukup untuk membiayai aktivitas MDGs (Millenium Development Goals) pada akhir 2015. MDGs adalah program yang dicanangkan PBB untuk mencapai kesejahteraan global.Pada 2006, besarnya pembayaran utang negara, cicilan pokok plus bunga, masih sekitar 42 persen dari APBN. Pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo pada 2006 mencapai Rp 91,71 triliun. Pemerintah juga harus membayar utang dalam negeri yang besarnya mencapai Rp 74,93 triliun. Total pembayaran utang luar dan dalam negeri 2006 mencapai Rp 166,64 triliun. Ini adalah angka-angka yang sangat fantastik dan sulit diterima akal untuk sebuah negeri yang masih bergulat dengan krisis. Tidak ada negeri yang proporsi pembayaran utangnya terhadap anggaran tahunan seberat Indonesia. Kemiskinan dan kerentanan (sosial-ekonomi) di Indonesia tetap tinggi, sekalipun sudah ada tanda-tanda pemulihan ekonomi terbatas. Bank Dunia (2001) memperkirakan, antara 30-60 persen (66 juta dari 120 juta orang) dari 210 juta penduduk Indonesia adalah miskin dan berada di ambang garis kemiskinan.Laporan UNICEF mengenai Indonesia, menyebut setiap bayi yang lahir menanggung utang Rp 7,3 juta sebagai akibat dari utang itu. Lebih jauh UNICEF memperingatkan bahwa Indonesia akan "kehilangan beberapa generasi" (lost generation) karena kekurangan gizi, kurang pendidikan, dan penurunan status kesehatan dari berjuta anak Indonesia sebagai akibat memburuknya situasi ekonomi dan penurunan 40 persen pada pengeluaran pemerintah. Amal Ihsan