TEMPO.CO, Semarang - Pengiriman komoditas ekspor dari sejumlah daerah di Jawa Tengah terhambat oleh pasokan bahan bakar minyak jenis solar subsidi yang saat ini telah dikurangi. Sejumlah pengusaha angkutan barang ekspor yang biasa mengirim melalui Pelabuhan Tanjung Mas Semarang mengaku menuai kerugian akibat kebijakan pengurangan kuota solar itu.
"Kami harus dikenai denda hingga Rp 1,3 juta karena terlambat pengiriman saat pegapalan," ujar Ketua Dewan Pimpinan Cabang Khusus Organisasi Angkutan Darat Tanjung Mas Kota Semarang, Selamet Riyadi, usai mengikuti aksi mogok dengan pengemudi angkutan peti kemas di pelabuhan Tanjung Mas, Senin 1 April 2013.
Menurut Selamet, minimnya kuota solar yang terjadi pada akhir-akhir ini menimbulkan proses pengiriman barang ekspor dari daerah terlambat hingga 12 jam. Hal ini disebabkan oleh antrean saat menunggu pengisian solar di sejumlah stasiun pengisan bahan bakar. "Semarang-Solo kami tempuh hingga 12 jam, biasanya hanya 6 jam," ujarnya.
Seperti diketahui, setelah pembatasan, pembelian solar subsidi dipatok maksimal Rp 100 ribu atau sebanyak 22 liter setiap satu unit truk pengangkut. Nilai pembelian solar itu dinilai jauh dari kebutuhan solar yang mencapai 150 liter dalam sekali perjalanan.
Selamet meminta kepada Gubernur Jawa Tengah untuk menambah kuota solar subsidi agar distribusi barang ekspor di sejumlah daerah tak terhambat. "Saya minta ada tambahan kuota 10 hingga 20 persen dari kebutuhan solar subsidi yang mencapai 1,8 juta liter per tahun," katanya.
Permintaan Selamet ini bukan tanpa alasan karena Jawa Tengah merupakan daerah lintasan kendaran dari berbagai provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, Banten dan Bali.
Menyikapi kondisi itu, Anggota Komisi Perekonomian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah Istajib, meminta agar pemerintah provinsi mengambil sikap tegas untuk minta tambahan kuota solar. "Ini kalau dibiarkan berlama-lama akan berdampak pada sektor perekonomian di Jateng," ujar Istajib.
Menurut Istajib, kelangkaan solar yang biasa digunakan untuk angkutan berat ini akan berdampak pada industri lain yang membutuhkan moda angkutan sama. "Jangan sampai mematikan industri lain. Ini harus segera ditangani," katanya.