TEMPO Interaktif, Uban sudah rata menyebar di rambut Mochtar Riady yang masih klimis. Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 12 Mei 1929, ini juga tak segesit dulu. Tapi raut muka pendiri Lippo Group itu masih menunjukkan semangat yang tak pernah pudar. Wajahnya berpendar ketika ia menceritakan proses transisi kepemimpinan di Lippo Group.
September lalu, Mochtar menyerahkan tampuk pimpinan kelompok usaha Lippo kepada Theo L. Sambuaga. Politikus Golkar itu, sebelumnya, sudah 15 tahun menjadi komisaris Lippo. Mochtar mengatakan memilih Theo karena Lippo ingin berekspansi ke Indonesia bagian timur. Sebagai orang Manado, Theo dianggap cocok dengan strategi Lippo yang ingin menggarap pasar di sana. Mochtar sekarang lebih memilih berfokus pada keluarga dan kehidupan spiritual.
Suksesi itu berbarengan dengan peringatan 60 tahun Grup Lippo. Kelompok usaha ini sudah memiliki 50 anak usaha. Usahanya berkembang mulai properti, infrastruktur multimedia, media, retail, pendidikan, kesehatan, hingga pengelola investasi. Namun usaha yang membuat namanya melambung adalah perbankan. Pada 1989, ia menggabungkan Bank Perniagaan Indonesia dengan Bank Umum Asia menjadi Lippo Bank.
Setelah menggurita seperti sekarang, Mochtar menilai, usaha ini tidak bisa hanya dimiliki keluarga. Ia mengatakan hanya ada satu nama Riady dalam jajaran eksekutif kelompok Lippo, yaitu James Riady (Chief Executive Officer Lippo Group), selebihnya adalah kaum profesional, termasuk Theo. James pun mengiyakan hal tersebut. Mochtar percaya bahwa setiap anak harus mengembangkan talentanya masing-masing. "Dari enam anak saya, tiga masuk dunia pendidikan dan satu membuat film," katanya.
Mochtar kemudian mengingat asal mula ia membangun usahanya. Ketika kecil, ia melihat kontradiksi dari pengajaran orang tuanya. Sang ibu sering mengajak ke klenteng untuk membagikan uang kepada pengemis. Sebaliknya, sang ayah melarangnya menjadi peminta-minta. Ia kemudian berpikir bahwa tidak baik memberikan uang kepada orang yang fisiknya masih mampu untuk bekerja. Mochtar pun bertekad membuka usaha sendiri, sehingga bisa menciptakan lapangan kerja.
Setelah menikah pada 1951, Mochtar membuka toko kecil di Jember bersama istri. Namun mimpinya ketika itu adalah menjadi bankir. Setelah menjadikan toko kecil itu sebagai toko terbesar di Jember, ia hijrah ke Jakarta untuk mencari relasi dengan para bankir. Meskipun tidak memiliki pendidikan di bidang keuangan, Mochtar sukses menyehatkan beberapa bank, seperti Bank Kemakmuran dan Bank Buana. Ia memiliki prinsip menjadi first class salesman, yaitu menjual barang yang tidak ada tapi bisa mendapat keuntungan. "Menjual visi," katanya.
Dalam konferensi pers 60 Tahun Lippo Group di Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta, bulan lalu, Mochtar menceritakan bagaimana menjadi first class salesman. Pada 1970-an, saat Bank Panin baru memiliki aset US$ 10 juta, ia melihat ada potensi besar di bank tersebut. Untuk mewujudkannya, ia perlu bekerja sama dengan bank asal Jepang, Fuji Bank.
Berbekal keinginan kuat, Mochtar nekat menghubungi kenalannya, seorang profesor di Singapura yang juga lulusan Universitas Kyoto. Kebetulan profesor ini mengenal Direktur Utama Fuji Bank ketika kuliah. Mochtar meminta profesor itu mengajak sang direktur makan malam di sebuah restoran di Jepang. Setelah itu, ia kemudian meminta profesor kembali mengajak makan Direktur Fuji Bank makan malam, namun kali ini bersama Mochtar.
Dalam pertemuan itu, bukannya menyebutkan nama Bank Panin, Mochtar malah menyebutkan Indonesia terus-menerus dan bagaimana kayanya negeri ini. Direktur itu terus mencatat setiap perkataannya. Profesor pun menanyakan kenapa tidak berbicara soal kerja sama bisnis. Mochtar dengan yakin mengatakan, jika direktur itu tertarik berbisnis di Indonesia, pasti ia mencarinya. Keyakinan itu terbukti. Tidak lama berselang, Fuji Bank menyatakan kesediaannya mengembangkan Bank Panin.
Setelah itu, Mochtar dikenal sebagai dokter bisnis perbankan. Ia pernah dijuluki "The Magic Man of Bank Marketing". Salah satu yang fenomenal adalah ketika ia sukses membangun Bank Central Asia bersama Liem Sioe Liong, sebelum mendirikan Lippo. Kini, setelah 60 tahun, Mochtar menilai saat ini mulai terjadi perubahan iklim ekonomi dunia. Dulu, bisnis dunia berpusat di kawasan Atlantik. Tapi kini mulai bergerak ke kawasan Pasifik. "Ini menunjukkan Indonesia semakin dekat dengan perekonomian dunia," katanya.
Itu sebabnya, kata Mochtar, Lippo perlu mengembangkan diri seiring dengan perkembangan zaman. Kawasan Indonesia bagian timur, menurut dia, akan semakin terintegrasi dan mengambil porsi utama dalam perekonomian nasional. Namun ia tak ingin terlibat lagi dalam manajemen Lippo untuk menghadapi tantangan baru itu. Ia percaya, di tangan para profesional, Lippo akan berhasil mengembangkan diri.
Kini, setiap hari ia membuka kesibukannya dengan berlari di atas treadmill selama setengah jam. Ia juga tak memiliki pantangan makanan apa pun. "Yang penting semua harus pas takarannya." Boleh jadi, itu yang membuatnya selalu bugar.
SORTA TOBING