TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fahmi Idris mengatakan iuran yang dibebankan kepada masyarakat tidak sesuai dengan nilai aktuaria. Oleh karena itu, sejak didirikan pada 2014, keuangan BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit.
"PBI (penerima bantuan iuran) belum sesuai. Harusnya Rp 36 ribu, pemerintah menetapkan Rp 23 ribu. Per kepala minus Rp 13 ribu," kata Fahmi di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Jakarta, Rabu, 21 Juni 2017.
Untuk peserta mandiri kelas III, menurut Fahmi, iurannya dipatok Rp 25.500 yang seharusnya Rp 53 ribu. "Kelas II pun masih minus. Harusnya Rp 63 ribu, yang ditetapkan Rp 51 ribu. Hanya kelas I yang sesuai hitungan, yakni Rp 80 ribu," tutur Fahmi.
Baca:
Pasien BPJS Ditolak 7 Kali, Menteri Puan Maharani Merespons
Mudik 2017, BPJS Kesehatan Siapkan Posko di 8 Titik
Pada 2014, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 3,3 triliun. Angka tersebut meningkat menjadi Rp 5,7 triliun pada 2015 dan Rp 9,7 triliun pada 2016. Tahun ini, menurut Fahmi, defisit keuangan BPJS Kesehatan diprediksi mencapai Rp 3,6 triliun.
Untuk menutupi defisit itu, menurut Fahmi, pemda mesti berkontribusi. "Iuran PBI kan Rp 23 ribu. Hitungan aktuarianya Rp 36 ribu. Minus Rp 13 ribu itu dibayari oleh pemda. Misalnya, PBI kabupaten A ada 10 ribu orang. Berarti 10 ribu dikali Rp 13 ribu, dia berkontribusi Rp 130 juta," katanya.
Kontribusi itu, Fahmi menuturkan, dapat diambil dari anggaran kesehatan. Menurut aturan, tiap daerah wajib mengalokasikan 10 persen dari anggarannya untuk kesehatan. "Nanti akan dicek daerah mana yang belum 10 persen. UU APBN ada perintah untuk mengalokasikan itu," katanya.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo berujar pemerintah tidak akan memberikan bantuan kepada BPJS Kesehatan dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN) seperti tahun lalu. "Akan diubah skemanya menjadi belanja pemerintah pusat berupa bantuan kepada BPJS Kesehatan," tuturnya.
ANGELINA ANJAR SAWITRI