TEMPO.CO, Jakarta - Masalah transfer pricing (transfer harga) kembali ramai dibicarakan setelah Menteri Keuangan merilis aturan baru PMK Nomor 213/PMK.03/2016. Aturan baru ini untuk menyempurnakan aturan sebelumnya yang dinilai rawan untuk praktik penghindaran pajak karena memiliki keterbatasan.
Sebelum membicarakan efektifitas PMK 213/PMK.03/2016 dalam menangkal penghindaran pajak sebaiknya kita melihat terlebih dulu definisi transfer pricing.
Baca Juga: Peraturan Transfer Pricing Dinilai Membingungkan
Seperti dilansir dari laman pajak.go.id, transfer pricing merupakan transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi pada suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar. Bisa dengan menaikkan (mark up) atau menurunkan harga (mark down), kebanyakan dilakukan oleh perusahaan global (multi national enterprise).
Tujuan tranfer pricing, pertama, untuk mensiasati jumlah profit sehingga pembayaran pajak dan pembagian dividen menjadi rendah. Kedua, menggelembungkan profit untuk memoles (window-dressing) laporan keuangan.
Modus transfer pricing dapat terjadi atas harga penjualan, harga pembelian, overhead cost, bunga shareholder-loan, pembayaran royalti, imbalan jasa, penjualan melalui pihak ketiga yang tidak ada usaha (special purpose company).
Model penghindaran pajak (tax avoidance) sering mungkin terjadi pada ekspor komoditas. Para eksportir, masih banyak menggunakan kontrak penjualan lama, yang belum direnegosiasi, untuk pelaporan omset pada SPT Tahunan. Pengusaha juga melakukan transfer pricing dengan mendirikan perusahaan perantara di negara bertarif pajak rendah seperti Hong Kong dan Singapura, sebelum menjual ke enduser.
Untuk mencegah penghindaran pajak karena penentuan harga tidak wajar, Dirjen Pajak mengeluarkan peraturan Nomor /PJ/2011 tanggal 11 November 2011. Aturan ini membahas penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha terkait transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Aturan ini mengharuskan wajib pajak untuk menggunakan nilai pasar wajar dalam bertransaksi dengan pihak istimewa.
Simak Pula: Ini Manfaat Aturan Baru Transfer Pricing Bagi Pengusaha
Dirjen Pajak juga mengeluarkan aturan PER-32/PJ/2011 yang menyatakan bahwa penentuan harga transaksi wajar bisa melalui metode perbandingan harga antara pihak non istimewa, resale price dan metode lainnya. Syarat utama analisis ini adalah ketersediaan data pembanding eksternal maupun internal.
Namun Perdirjen Pajak No. PER-32/P/2011 dinilai memiliki keterbatasan. Dalam peraturan ini tidak dirinci secara tegas soal dokumen apa saja yag dipakai untuk menentukan harga transfer.
Pemerintah kemudian melakukan penyempurnaan dengan merilis PMK No. 213/PMK/2016. Dari segi dasar hukum peraturan baru ini lebih kuat karena dalam bentuk peraturan menteri keuangan.
Dalam peraturan baru tersebut, pendekatan yang digunakan tidak hanya dokumentasi lokal. Namun juga pendekatan baru melalui country by country report dan setting price, yang menuntut wajib pajak untuk menetapkan target margin dari transaksi afiliasi sebelum dilakukannya penyusunan anggaran di awal tahun.
John Hutagaol, Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak menyebutkan, beleid anyar ini bertujuan mendorong keterbukaan informasi dari para wajib pajak. Pasalnya, selama ini otoritas pajak tidak memiliki informasi rinci dari transaksi dengan pihak afiliasi.
“Mereka (para wajib pajak) yang mengetahui detail secara rinci substansi nature dari transaksi itu, otoritas pajak enggak punya informasi soal itu,” ucapnya kepada Bisnis.com, seusai acara Seminar Kupas Tuntas PMK No.213/PMK.03/2016 Dokumentasi Transfer Pricing di Indonesia yang diselenggarakan di Surabaya, Sabtu 11 Februari 2017.
Baca: Perbedaan Beleid Baru Transfer Pricing dengan Aturan Lama
Namun peraturan baru ini dinilai masih tumpang tindih dengan Perdirjen Pajak 32/2011. Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, selama ini Perdirjan Pajak 32/2011 sebagai guidelines belum dicabut.
"Dalam PMK tidak secara tegas mengatakan mencabut peraturan atau ketentuan yang bertentangan, “ ujar Prastowo saat dihubungi Tempo, Ahad, 12 Februari 2017.
Beleid baru terkait dengan dokumentasi transfer pricing, menurut Prastowo, juga dinilai cukup efektif dalam menekan penghindaran pajak. “Untuk penghindaran pajak internasional saya yakin akan berdampak positif,” katanya.
Namun agar bisa efektif dalam menekan penghindaran pajak berganda maka perlu ada kejelasan antara regulasi dan tata cara (guidelines). "Statusnya harus ditegaskan Perdirjen 32/2011 akan diubah atau disempurnakan," tutur Prastowo. Selain itu juga pelu membuat penegasan atau penjelasan tambahan baik dengan merevisi PMK atau menyusun PMK baru.
GHOIDA RAHMAH | SETIAWAN ADIWIJAYA