TEMPO.CO, Jakarta - PT PLN (Persero) sedang meminta pengawalan hukum dari Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Pusat (TP4P) Kejaksaan Agung guna melanjutkan proyek pembangkit listrik fast track program tahap I dan II. Dari 34 proyek, terdapat 12 proyek yang sedang dimintai pendapat hukum. PLN mencatat hanya sembilan proyek yang bisa berlanjut tanpa masalah.
"12 proyek kami lagi mencari solusi ada aspek operasional, teknis, dan finansial. Masalah legalnya kami dibantu TP4P Kejaksaan Agung, dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan," ujar Direktur Utama PLN Sofyan Basir di kantornya, Senin, 31 Oktober 2016.
PLN belum melanjutkan 12 proyek pembangkit karena alasan bermacam-macam. Seperti pembangunan PLTU Malinau (2x3 MW) di Desa Melapis, Kabupaten Malinau Utara, Kalimantan Utara.
Kontraktor proyek, konsorsium PT PAL (Persero) dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk, mengaku merugi karena biaya proyek membengkak. Pembengkakan biaya terjadi lantaran depresiasi Rupiah terhadap kurs rupiah terhadap dolar AS. Padahal proyek ini strategis untuk mengurangi pemakaian pembangkit bahan bakar minyak serta menambah pasokan listrik di perbatasan. Kemajuan proyek saat ini masih sekitar 55,69 persen, alias molor dari jadwal operasi komersial pada September 2014.
Ada juga proyek PLTU Maluku-Ambon berkapasitas 2x15 MW yang pembangunannya berhenti sejak Februari 2014. Padahal proyek menelan biaya cukup besar, sekitar US$ 25 juta dan Rp 219 miliar. Alasannya, performance security proyek sudah kedaluwarsa sejak Oktober 2014. Perseroan tengah meminta pendapat Kejaksaan Agung supaya proyek bisa berlanjut. "Ada juga beberapa proyek kami harus menambah dana baru," kata Sofyan.
PLN terpaksa menghentikan 13 proyek pembangkit yang tersebar dari Sumatera hingga Papua. Nilai kontrak proyek yang terminasi ini mencapai Rp 2,72 triliun dan US$ 35,8 juta. Alasan pemutusan kontrak beragam, mulai proyek terhambat perizinan, sulitnya pembebasan lahan, hingga kondisi tanah yang tidak ideal.
Seperti proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Kuala Tungkal (2x7 MW) di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Sampai saat ini kemajuan proyek nol persen karena kondisi tanah bersifat lunak sehingga biaya penanganannya berisiko membengkak hingga 60 persen dari nilai kontrak saat ini, sebesar US$ 9,9 juta dan Rp 214 miliar. Pengembangnya adalah PT ZUG Industry Indonesia.
Sebelumnya Sofyan mengatakan proyek mangkrak lantaran saat lelang, pemenang ditentukan berdasarkan usulan harga yang paling murah. Ini juga berimbas pada kualitas pembangkit yang buruk.
Presiden Joko Widodo meminta PLN memperjelas proyek pembangkit yang sebagian besar mangkrak. Presiden Jokowi bahkan mengancam bakal membawa persoalan proyek ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sebabnya kepastian proyek juga menentukan kemajuan program listrik 35.000 MW. Diketahui Pemerintah menargetkan fast track program tahap I dan II mampu menyumbang kapasitas listrik hingga 7.000 MW pada 2019 mendatang. "Karena ini menyangkut uang negara yang besar sekali hingga triliunan rupiah," ujar Presiden Joko Widodo, Senin, 1 November 2016.
Saat ditemui di lokasi berbeda, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan mangkraknya sejumlah proyek pembangkit listrik, bukan masalah. Sebabnyak cadangan listrik masih dinilai mencukupi. "Ya tidak apa-apa, tidak masalah itu, yang penting jangan sampai cadangan listrik tidak ada," kata Luhut saat ditemui di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, Rabu 2 November 2016.
Luhut menambahkan Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) sudah melakukan audit. Dari hasil audit itu diketahui hanya sekitar 10 ribu megawatt yang sudah hampir pasti selesai di 2019, dari keseluruhan yang dicanangkan yaitu 35 ribu megawatt.
Namun kata Luhut, ada 9 ribu megawatt yang pada 2019 masuk dalam tahap under construction. Dia melihat maksimal 2019 sudah masuk dalam tahap commercial on date (COD), sebesar 16-17 ribu megawatt. "Tetapi kami masih audit ulang, angkanya dekat-dekat 16-17 ribu megawatt."
ROBBY IRFANY | ODELIA SINAGA | ISTMAN MP | DIKO OKTARA