TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Tony Wenas membantah perusahaannya membuka lahan baru di area gambut Pulau Padang. "Lahan itu sudah dilakukan (pembukaan) sebelum akhir Desember 2014," kata Tony di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Jumat, 9 September 2016.
Tony juga mengelak bahwa RAPP telah membuat kanal atau drainase baru seperti yang ditemukan Badan Restorasi Gambut di area konsesinya di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. "Memang ada pembukaan sekat bakar dan kantong air sebagai bagian dari pencegahan kebakaran hutan dan lahan," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono membenarkan, berdasarkan keterangan Tony, pembukaan kanal tersebut merupakan bagian dari kegiatan yang tercantum dalam rencana kerja tahunan (RKT) sebelumnya. "Di sana, mereka ingin menanam pohon, bukan membuka lahan baru. Itu sudah ada sejak RKT sebelumnya yang mana terjadi kebakaran," ucapnya.
Bambang pun menambahkan, agar peristiwa tersebut tidak terjadi lagi pada kemudian hari, RAPP perlu merevisi rencana kerja umum (RKU) yang dimilikinya. "Tidak bisa dilanjutkan dengan cara-cara lama. Harus ada perbaikan RKU yang berbasis pemetaan kesatuan ideologis gambut yang saat ini sedang dikerjakan Badan Restorasi Gambut dan KLHK," tuturnya.
Selasa kemarin, Badan Restorasi Gambut menggelar inspeksi mendadak di PT RAPP, anak perusahaan Asia Pacific Resources International Holdings Ltd, anggota Royal Golden Eagle, grup milik Sukanto Tanoto. Dalam inspeksi itu, RAPP kedapatan membuka lahan baru di area gambut Pulau Padang, Kepulauan Meranti, Riau.
Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead mengatakan kedalaman pembukaan lahan baru itu diperkirakan lebih dari 3 meter alias tergolong kawasan fungsi lindung. Dalam inspeksi mendadak itu, ditemukan pula kanal atau drainase baru. Nazir pun memastikan akan mengusut tuntas dugaan pelanggaran yang dilakukan RAPP tersebut.
Menurut Nazir, pemilik konsesi lahan hutan tanaman industri seluas 41.205 hektare tersebut melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan hasil rapat kabinet pada 23 Oktober 2015, yang keputusannya melarang pembukaan baru di seluruh lahan gambut.
PP itu melarang pembukaan lahan di ekosistem gambut dengan fungsi lindung serta membuat drainase dan membakar sehingga mengakibatkan kerusakan di ekosistem gambut tersebut. Saat dikonfirmasi hal itu, Tony berujar, "Kami selalu patuh terhadap aturan dan semua yang kami lakukan sesuai dengan surat keputusan dari KLHK."
ANGELINA ANJAR SAWITRI