TEMPO.CO, Jakarta - Harga beras di Kamboja lebih murah ketimbang di Indonesia, berkisar US$ 0,25-0,6 atau setara Rp 3.300-7.400 per kilogram. Bandingkan dengan harga beras termurah di Jakarta yang mencapai Rp 8.000 dan rata-rata berkisar Rp 9.000-11.000 per kilogram.
Anehnya, meski harga beras murah, pemerintah Kamboja tidak mensubsidi pertanian yang memproduksi beras. Adapun di Indonesia, subsidi yang sudah pasti adalah subsidi pupuk setiap tahun. Menteri Pertanian Amran Sulaiman tidak memungkiri harga beras di Indonesia paling mahal.
Namun Amran menampik mahalnya harga beras karena ongkos produksi pertanian. Amran mengatakan harga beras di tingkat petani setara dengan harga beras di Asia Tenggara. Ia merujuk harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani, yang menurut data BPS mencapai Rp 3.800-4.500 per kilogram.
Amran menilai, mahalnya harga beras di tingkat konsumen karena tata niaga. "Rantainya terlalu panjang. Itu bukan domain Kementerian Pertanian," katanya kepada Tempo, Jumat, 6 Agustus 2016.
Selain Kamboja, harga beras di Indonesia relatif lebih mahal ketimbang Thailand (Rp 7.300 per kilogram), Vietnam (Rp 5.700), dan Myanmar (Rp 5.900). Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi harga beras di Kamboja, Tempo bersama Oxfam Indonesia, organisasi nirlaba yang berfokus pada advokasi pangan lokal, pada 26-28 Juli 2016, berkesempatan mengunjungi pembangunan pertanian di Provinsi Pursat, sentra produksi padi di Kamboja. Pursat berjarak enam jam perjalanan darat dari Ibu Kota Phnom Penh.
Deputi Departemen Pertanian Provinsi Pursat Sem Sothea mengatakan pertanian di Kamboja tidak disubsidi pemerintah seperti mayoritas negara di ASEAN. Pemerintah hanya sekali menyerahkan benih padi untuk petani. Musim tanam berikutnya petani mendapatkan benih dari hasil panennya.
"Di sini tidak ada subsidi pupuk dari pemerintah," kata Sem Sothea. Memasuki masa panen, petani harus berhadap-hadapan dengan tengkulak. Kelompok Tani dari Krang Tom Village Au Sandan Commune mengatakan beberapa petani harus menjalani praktek ijon dalam bertransaksi dengan tengkulak.
Meski ada peran tengkulak, perbedaan harga gabah di petani dengan harga di tingkat konsumen tidak terlalu jauh. Petani mengantongi hasil US$ 0,17 atau setara Rp 2.250 per kilogram dari tengkulak. Adapun harga jual di pasaran mencapai Rp 3.300-7.400.
Kendati harga beras murah, bukan berarti tidak ada masalah. Sem Sothea menegaskan, masalah pertanian adalah produktivitas petani yang relatif rendah dan masalah irigasi. "Rata-rata produksi padi 3 ton per hektare," katanya.
Jumlah lebih kecil lagi disampaikan Kelompok Tani dari Krang Tom Village Au Sandan Commune. Rata-rata produksi gabah mencapai 2,5 ton per hektare. Untuk meningkatkan produktivitas, beberapa kelompok petani mempraktekkan metode System of Rice Intensification (SRI). Salah satunya kelompok petani di Rolang Bandoy Village, Kanhor Commune. Mereka berhasil mengerek produktivitas padi menjadi 4,5 ton per hektare.
Terkait produktivitas padi, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengklaim petani Indonesia lebih bagus. "Rata-rata sudah 6 ton per hektare," katanya. Produktivitas terendah petani Indonesia ada yang hanya 2 ton per hektare dan tertinggi mencapai 9-10 ton per hektare. "Produktivitas kita termasuk tertinggi di Asia Tenggara," katanya.
AKBAR TRI KURNIAWAN
BURSA PILGUB DKI 2017
Pilgub DKI: Dukungan ke Risma Menguat, PDIP Bikin Kejutan?
Pilgub DKI: Kans Ahok Menyempit di PDIP, Ini Buktinya