TEMPO.CO, Jakarta - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak pengesahan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat kemarin. Menurut Wakil Ketua Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam masih terdapat enam pasal yang bermasalah dalam UU tersebut.
Pasal yang ditolak PKS, antara lain Pasal 3 tentang obyek pengampunan pajak. "Obyek pengampunan pajak cukup pada pajak penghasilan saja, tidak perlu sampai pada pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah," kata Ecky dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 29 Juni 2016.
Perluasan obyek pajak kepada PPN dan PPn BM tersebut, menurut Ecky, akan berdampak buruk pada penerimaan negara secara keseluruhan. Fraksi PKS pun mengusulkan agar utang pokok tidak diampuni. "Yang diampuni hanya sanksi administrasi dan pidana perpajakannya saja," ujarnya.
Pasal lain yang ditolak PKS adalah Pasal 4 terkait dengan fasilitas dan tarif tebusan. Ecky menilai, pemerintah terlalu mengobral tarif yang sangat rendah. "Ini sangat tidak adil dibandingkan dengan tarif dalam ketentuan umum perpajakan, yaitu sebesar maksimal 30 persen ditambah sanksi administrasi 48 persen dari utang pokok."
Pasal 20 yang berbunyi data dan informasi tax amnesty tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pidana juga ditolak PKS. "Pasal ini rawan untuk disalahgunakan dan memberikan ruang bagi pidana lain, seperti korupsi, narkoba, terorisme, human trafficking, dan pencucian uang," ujar Ecky.
Melalui pasal ini, kata Ecky, pelaku pencucian uang atau korupsi berpotensi melaporkan harta hasil kejahatannya untuk mendapatkan pengampunan pajak. PKS pun meminta pasal tersebut dikeluarkan dan diperkuat dengan pasal kerahasiaan data. "Atau harus menyebutkan bahwa pasal hanya berlaku pada pidana perpajakan," tuturnya.
Dalam Pasal 12, terdapat ruang bagi wajib pajak untuk menaruh dananya di beberapa instrumen keuangan, seperti obligasi perusahaan swasta. PKS menolak pasal itu dan meminta agar dana repatriasi benar-benar masuk ke sektor riil dan infrastruktur.
Hal itu dimaksudkan agar dana repatriasi itu tidak menjadi uang panas (hot money) dalam bentuk investasi pasar uang yang bisa tiba-tiba keluar dan mengganggu stabilitas sistem keuangan. "Atau pun menjadi sumber bubble keuangan karena spekulasi di sektor properti," kata anggota Komisi Keuangan itu.
Selain itu, PKS juga meminta holding period selama lima tahun. Menurut Ecky, dana repatriasi dari luar negeri harus benar-benar masuk ke dalam negeri. "Sehingga holding period harus lebih lama, yaitu minimal lima tahun, bukan tiga tahun sebagaimana usulan pemerintah," katanya.
PKS pun menilai, batas akhir pengampunan pajak pada 31 Maret 2017 tidak sejalan dengan batas akhir APBN 2016 pada 31 Desember 2016. "Perpanjangan waktu hingga 31 Maret 2017 semakin menambah ketidakpastian bahwa target penerimaan pajak dari pengampunan pajak dalam APBN 2016 akan tercapai," ujarnya.
ANGELINA ANJAR SAWITRI