TEMPO.CO, Jakarta - Manajer Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Apung Widadi, menilai, menjelang penetapan RAPBN-P 2016, ada isu-isu yang belum tuntas dibahas, tapi dipaksakan untuk disahkan. Dia pun memaparkan kritik dari Fitra terkait dengan RAPBN-P 2016 tersebut.
Dalam keterangan tertulisnya pada Senin, 27 Juni 2016, Apung mengatakan Fitra menolak Rancangan Undang-Undang Tax Amnesty. "Karena tidak signifikan dengan APBN-P 2016 dan akan menimbulkan kesenjangan kesejahteraan ekonomi di masa depan," ujar Apung.
Menurut Apung, kinerja Kementerian Keuangan menggenjot penerimaan pajak APBN 2016 masih lambat. "Ada potensi disengaja agar tax amnesty dengan target Rp 165 triliun datang sebagai penyelamat," katanya.
Baca Juga: Menteri Darmin Tak Akan Revisi Pertumbuhan di APBNP 2016
Selain itu, Fitra menolak pemberian penyertaan modal negara (PMN) untuk badan usaha milik negara (BUMN). "PMN BUMN selalu tidak transparan dan rawan untuk bancakan elite. Karena itu, Fitra dengan tegas menolak."
Apung menilai, nomenklatur dana optimalisasi bisa menjadi salah satu ruang transaksional elite. Untuk itu, Fitra menyarankan dana optimalisasi dihapus. Fitra juga ingin pemerintah tidak lagi menganggarkan bantuan keuangan untuk PT Lapindo Brantas.
Simak:Tampung Dana Tax Amnesty, Darmin Siapkan Daerah Surga Pajak
Pemerintah, menurut Apung, tidak menjalankan prioritas yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional untuk pemenuhan bujet mandatory spending. "Justru dialihkan ke fungsi pertahanan. Pemerintah tidak konsisten terhadap keberpihakan masyarakat."
Yang terakhir, Fitra menyarankan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro diganti karena kinerjanya dalam 2 tahun terakhir dinilai kurang menggembirakan. "Rezim defisit anggaran sengaja diterapkan. Menkeu justru menguatkan hal tersebut. Menkeu layak diganti oleh Presiden saat reshuffle nanti."
ANGELINA ANJAR SAWITRI