TEMPO.CO, Jakarta - Lemahnya daya beli masyarakat disinyalir akibat dari peralihan pola konsumsi konvesional menjadi e-commerce atau perdagangan online. Namun, dugaan itu ditepis oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution.
Darmin mengatakan bahwa e-commerce baru berkembang di Indonesia, sehingga diyakini jumlahnya belum sebanyak di negara lain. Menurutnya, lesunya konsumsi pada akhir kuartal II 2017 disebabkan karena banyaknya konsumen yang menahan diri untuk membelanjakan uangnya, dan bukan karena adanya e-commerce.
“Gini ya, mungkin itu (e-commerce) ada, tapi saya nggak yakin banyak. Saya lebih yakin tahun ini, (dikarenakan) akhir Juni sudah mulai lebaran sehingga orang menunggu mau pulang kampung, dan dia menunda konsumsi. Tahun lalu itu lebaran Juli, coba deh bandingin, mirip. Tapi kalau ini dibandingkan, Juni-Juni ya gak cocok, karena ada faktor lebaran. Lebih besar itu potensinya,” ungkap Darmin belum lama ini.
Baca: Tangkap Pertumbuhan Bisnis Online, BI Siapkan Big Data
Meski begitu, Darmin mengakui jika perkembangan e-commerce akhir-akhir ini memang cukup pesat sehingga perlu ada langka lebih lanjut untuk menangkap potensi dari sektor perdagangan online tersebut.
“E-commerce itu banyak yang punya sendiri-sendiri dan belum masuk di intinya (item yang dibahas) Bank Indonesia. National payment gateway-nya belum berkembang, jadi belum terlihat transaksi digital. Jadi national payment gateway biar dikembangkan sama Bank Indonesia [terlebih dahulu],” ujarnya.
Senada dengan Darmin, Ekonom INDEF Bhima Yudhistira juga mengakui jika pesatnya e-commerce bukan jadi alasan dibalik lemahnya konsumsi, seperti yang dipaparkan dalam data BPS.
Menurutnya, meski e-commerce berkembang pesat namun peran perdagangan online itu hanya memberi sumbangsih 1 persen dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Karena porsi e-commerce masih dibawah 1 persen dibandingkan total ritel nasional. Kalau dibilang shifting sepertinya ga bisa digeneralisir secara nasional,” kata Bhima.